"Anak saya waktu itu sedang ujian kampus ya, dari pagi. Sampai siang kalau enggak salah. Setelah itu di kampus ada orasi dari rektor Trisakti," ujar Lasmiati.
Heri ikut dalam barisan mahasiswa yang mendengarkan orasi rektor. Waktu saat itu menunjukkan pukul 17.00 WIB.
Dari rekan Heri bernama Aji, Lasmiati mengetahui akan adanya hujan tembakan yang mengarah ke Kampus Trisakti, usai orasi berlangsung.
"Ratusan peluru yang nembak dari arah jalan layang Grogol ke kampus," kenang Lasmiati.
"Nah itu hujan peluru, kebetulan anak saya yang kena dari salah empat orang korban ini sampai meninggal. Anak saya itu meninggal di kampus," terang Lasmiati.
Baca juga: Dampak Tragedi Trisakti
Posisi Heri waktu hujan peluru itu berada di bawah tiang bendera.
Ada sebuah peristiwa yang menyesakkan dada. Aji mengaku, sempat mengajak pulang Heri di penghujung acara orasi. Tetapi, Heri menolak.
"'Her ayo kita pulang', kata Aji. Lalu Heri menjawab 'entar dulu entar dulu'. Setelah itu Heri tewas tertembak," ujar Lasmiati.
Masih bersumber dari keterangan Aji, Heri sempat mengatakan, "kaki saya enggak bisa digerakkan ya".
Rupanya, Heri telah tertembak di bagian punggung. Beberapa detik kemudian, Heri jatuh tersungkur dan tidak sadarkan diri.
"Pelurunya tembus dari punggung kanan ke bagian dada," ucap Lasmiati.
Apabila Heri mengikuti ajakan Aji untuk berpindah tempat, mungkin ceritanya akan lain, pikir Lasmiati. Tetapi peristiwa itu sudah dianggap sebagai garis hidup yang harus dijalani.
Lasmiati melanjutkan, keadaan di kampus Trisakti saat itu sangat kacau.
Banyak mahasiswa dan dosen menyelamatkan diri, bahkan ada juga puluhan korban yang kena peluru serta pecahan kaca.
"Ratusan peluru masuk ke Trisakti saat itu. Semua orang saksi yang ada di situ saat kejadian sampai satpam kampus juga ngomong kayak gitu," jelas dia