JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur LBH Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (APIK) Jawa Barat sekaligus anggota Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) Ratna Batara Munti memenuhi panggilan Komisi Yudisial (KY), Jumat (14/7/2023).
Saat diperiksa KY, Ratna membeberkan dugaan pelanggaran hakim tunggal yang memvonis anak AG, mantan kekasih Mario Dandy Satriyo.
"Jadi, pemeriksaan kali ini, yang terkait dengan hal yang kami anggap melanggar, di mana pelanggarannya. Jadi pertanyaannya seputar pelanggaran Perma dari putusan (anak AG) tersebut," ucap Ratna di Kantor Komisi Yudisial, Jakarta Pusat, Jumat (14/7/2023).
Baca juga: Fakta dan Dugaan Kasus Pencabulan Mario Dandy terhadap AG, Tak Bisa Disebut Suka Sama Suka
Salah satu yang ia jelaskan adalah dugaan pelanggaran Pasal 4 dan 5 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Ratna menilai, dalam putusannya, hakim menyinggung riwayat seksual AG tanpa mempertimbangkan AG sebagai korban kekerasan seksual.
Hakim juga tidak mempertimbangkan relasi kuasa antara AG dan Mario.
"Itu sangat eksplisit dalam pertimbangan dan putusan dari hakim. Kasus AG yang menyebutkan seolah-olah AG ini bukan anak perempuan yang baik, karena telah melakukan hubungan seksual dengan MDS dan tidak menimbulkan trauma. Jadi, itu hanya kesimpulan sepihak dari hakim," jelas dia.
"Karena MDS (Mario) ini notabenenya dewasa. Nah, justru dengan mengangkat riwayat seksual AG ini, seolah melegitimasi dia adalah bukan anak yang baik dan terlibat sebagai turut serta. Jadi, itu yang kami sampaikan di pemeriksaan ini," tutur dia.
Baca juga: Ditanya soal Status Tersangka Pencabulan AG, Mario Dandy Hanya Diam
Karena itu, menurut Ratna, hakim yang menangani perkara AG telah melanggar kode etik.
"Jadi, intinya apa yang kami adukan itu pelanggaran kode etiknya," ungkap dia.
Sebelumnya, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Sri Wahyuni Batubara dan Hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta Budi Hapsari dilaporkan ke KY pada Kamis (25/5/2023).
Keduanya merupakan hakim tunggal yang memimpin sidang AG (15) dalam kasus penganiayaan D (17).
Keduanya dilaporkan oleh Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender terhadap Anak Perempuan (Koalisi AG-AP).
Perwakilan Koalisi AG-AP Aisyah Assyifa mengatakan, setidaknya ada empat poin yang dilaporkan.
Baca juga: Mario Dandy Sandang Status Baru: Tersangka Kasus Pencabulan AG
Salah satu poin yang diadukan adalah adanya pemeriksaan yang diduga tak berimbang oleh Hakim Sri. Hakim Sri disebut menolak untuk memutar rekaman CCTV di ruang sidang.
"Pertama, Hakim Sri menolak untuk memutarkan video CCTV di ruang sidang, padahal video CCTV memuat bukti yang berlainan dengan klaim terkait fakta oleh hakim dalam putusan," beber Aisyah.
Sementara itu, salah satu poin laporan yang ditujukan kepada Hakim Budi adalah perihal pemeriksaan yang kurang cermat dan tidak adil.
Hakim Budi dinilai terlalu tergesa-gesa saat memeriksa berkas.
Koalisi AG-AP bahkan mengeklaim, Hakim Budi hanya membutuhkan waktu kurang dari 24 jam untuk memutuskan perkara AG.
"Hakim Budi tidak melakukan pemeriksaan yang cermat dan adil terhadap perkara anak. Sebab, berkas persidangan anak dari PN Jakarta Selatan dalam kasus aquo baru dikirimkan ke PT DKI pada 26 April 2023," tutur Aisyah.
"Kemudian, pada hari yang sama, Hakim Tunggal PT DKI baru ditunjuk oleh PT DKI Jakarta. Kurang dari 24 jam, yaitu pada 27 April 2023, Hakim Tunggal PT DKI mengeluarkan putusan untuk memperkuat putusan tingkat pertama yang menghukum penjara Anak," tegas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.