JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Fraksi PDI-P DPRD DKI Gilbert Simanjuntak mengatakan, mahalnya biaya pemilihan kepala daerah (pilkada) Jakarta tidak bisa dijadikan alasan untuk mengatur penunjukan langsung gubernur dan wakil gubernur oleh Presiden.
Daftar pemilih tetap di Jakarta saat ini sekitar 8 juta orang.
Menurut dia, jumlah ini terbilang lebih sedikit daripada provinsi lain di Indonesia yang memiliki puluhan juta pemilih.
“Apabila pertimbangan karena faktor biaya Pilkada, maka dengan DPT sekitar 8 juta di Jakarta sebagai kota. Ini tidak ada artinya dengan DPT provinsi lain yang begitu luas dengan jumlah 28 juta lebih,” ujar Gilbert saat dikonfirmasi, Rabu (6/12/2023).
Baca juga: Kritik Wacana Gubernur DKI Ditunjuk Presiden, Fraksi PDI-P: Jangan Kebiri Hak Warga!
Gilbert menegaskan, pilkada langsung oleh masyarakat merupakan amanat dari undang-undang dasar (UUD).
“Sesuai UUD, presiden dibatasi kekuasaannya. pengangkatan menteri, duta besar, dan lainnya adalah wewenang presiden, tetapi tidak gubernur,” kata dia.
Gilbert menambahkan, pemenang pilkada DKI harus memperoleh suara 50 persen lebih satu suara.
Jika perolehan suara para paslon tidak mencapai angka tersebut, maka akan dilaksanakan putaran kedua.
Diketahui, Gilbert mengkritik rancangan undang-undang (RUU) tentang Daerah Kekhususan Jakarta (DKJ) yang baru saja disetujui oleh DPR RI.
Baca juga: Tolak RUU DKJ soal Gubernur DKI Ditunjuk Presiden, F-PKS: Harus Kembali ke Semula
Salah satu yang disorot Gilbert ialah Pasal 10 ayat 2 yang mengatur gubernur dan wakil gubernur nantinya ditunjuk dan diberhentikan Presiden RI.
“Rakyat Jakarta mampu memilih sendiri gubernurnya. Jangan kebiri hak konstitusionalnya,” ujar Gilbert.
Menurut Gilbert, semangat reformasi dan amandemen UUD yang ada selama ini mendukung persoalan otonomi daerah serta pilkada langsung.
Namun, usulan untuk menghilangkan pemilihan gubernur Jakarta setelah tak lagi menjadi Ibu Kota, seolah bertolak belakang dengan semangat reformasi.
“Salah satu alasan pilkada langsung adalah karena sentralistik orde baru yang mengangkat kepala daerah, sehingga isu saat itu adalah Militer, Jawa dan penunjukan Presiden. Sangat aneh apabila sekarang timbul ide neo orba untuk sentralistik,” kata Gilbert.
Baca juga: Kritik Aturan Gubernur DKI Ditunjuk Presiden, F-Nasdem: Itu Renggut Hak Rakyat
Sebelumnya, Ketua Panitia Kerja (Panja) DPR terkait RUU DKJ Achmad Baidowi membenarkan bahwa kemungkinan pilkada di DKI Jakarta dihilangkan setelah tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara.
Hal ini mengacu pada draf RUU DKJ yang telah ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna.
Pasal 10 ayat 2 draf RUU DKJ berbunyi, "Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD".
Meski menghilangkan pilkada langsung, pria yang karib disapa Awiek itu menegaskan, proses demokrasi tetap berlangsung melalui usulan DPRD.
"Untuk menjembatani keinginan politik antara yang menginginkan kekhususan ditunjuk secara langsung dan kedua supaya kita tidak melenceng dari konstitusi, cari jalan tengah bahwa Gubernur Jakarta itu diangkat, diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usulan atau pendapat dari DPRD," kata Awiek di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.