Terlebih, lanjut Yayat, Jakarta memiliki potensi untuk mengembangkan sektor jasa keuangan, asuransi, dan perusahaan dengan ketersediaan sumber daya manusia yang ada.
“Akibatnya apa kalau Jakarta kalau ke depannya dipadati motor dengan pendapatan yang terbatas. Ini persoalan besar. Jakarta akan padat, ekonominya tumbuh tidak terlalu cepat dibandingkan kalau berbasis industri pengolahan,” ungkap Yayat.
Sejalan dengan itu, pemerintah di wilayah aglomerasi harus bisa mensinergikan pengembangan layanan transportasi publik. Dengan begitu, penggunaan kendaraan pribadi untuk beraktivitas di Jakarta atau datang dari kota penyangga dapat dikurangi.
“Jadi selama pola ekonomi kita gagal membangun publik transportasi yang andal, infrastruktur yang andal, maka kota ini akan semakin padat dengan kendaraan pribadi, padat dengan polusi dan boros dengan konsumsi bahan bakarnya,” pungkas Yayat.
Baca juga: Ini Kata Pengamat Tata Kota Soal Kawasan Aglomerasi DKJ
Terkait hal itu, Suhajar mengatakan bahwa pemerintah DKJ diberikan kewenangan untuk membatasi jumlah kendaraan yang dimiliki setiap warga.
Hal itu sudah dituangkan dalam UU DKJ bagian kewenangan khusus perhubungan, yang meliputi jumlah kepemilikan kendaraan bermotor perseorangan.
“Di dalam UU khusus ini kami (pemerintah) sepakat dengan DPR memberi kewenangan kepada Pemerintah Daerah Khusus Jakarta, sampai dengan pengaturan jumlah kendaraan yang boleh dimiliki masyarakat,” ungkap Suhajar.
Kewenangan ini diberikan dengan harapan dapat mengatasi masalah kemacetan di Jakarta, setelah tak menjadi Ibu Kota. Nantinya, pemerintah DKJ bisa membuat aturan turunan untuk menjalankan kewenangan pembatasan jumlah kendaraan itu.
“Mungkin nanti kami dapat terapkan melalui pajak progresif yang sekarang sudah diterapkan untuk mobil," kata Suhajar.
Baca juga: Pemprov DKI Tunggu Perpres untuk Mulai Jalankan Aturan di UU DKJ
Artinya, kata dia, kalau masyarakat merasa bahwa membayar pajak terlalu mahal untuk mobil kedua, ketiga, ataupun kendaraan lain, maka nafsu untuk berbelanja kendaraan akan turun.
Meski begitu, Suhajar berpendangan penerapan kebijakan tersebut ataupun pengembangan sektor perekonomian lainnya perlu dibarengi dengan kemampuan pemerintah daerah mengelola transportasi publik.
“Nah, itu yang masih harus kita kembangkan, transportasi umum. Sehingga nanti orang sebagian secara masif akan melepaskan transportasi pribadinya, beralih ke transportasi umum,” kata Suhajar.
Selain upaya mengatasi kemacetan, UU DKJ juga mengatur secara khusus upaya peningkatan kualitas pelayanan untuk warga.
Dalam beleid itu, terdapat kewajiban mengalokasikan lima persen anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), untuk operasional kelurahan di seluruh wilayah.
Baca juga: Heru Budi Tegaskan Jakarta Masih Ibu Kota meski UU DKJ Sudah Disahkan
“Untuk menjaga pemerataan pembangunan bagaimana, dan kami sepakat akhirnya minimal 5 persen dana APBD dapat disalurkan, wajib disalurkan sampai ke kelurahan,” kata Suhajar.