JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat pendidikan sekaligus Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menduga, kasus kekerasan yang dilakukan senior terhadap junior di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) sudah banyak terjadi dan menjadi budaya atau tradisi.
Dugaan itu muncul setelah kasus penganiayaan berujung maut di STIP kembali terjadi, kali ini menimpa Putu Satria Ananta Rastika (19) pada Jumat (3/5/2024).
"Muncul kayak begini tuh (kasus kekerasan) akan terus ada. Tapi karena sampai meninggal baru terkuak. Mungkin yang dipukulin tapi enggak sampai meninggal mungkin banyak, cuma enggak ngadu," ungkap Retno saat dihubungi Kompas.com, Senin (6/5/2024).
Baca juga: Taruna STIP Meninggal Dianiaya Senior, Menhub: Kami Sudah Lakukan Upaya Penegakan Hukum
Retno menyampaikan, kekerasan di lingkungan pendidikan paling sering menimpa seorang junior atau adik kelas.
Kekerasan yang terjadi pada akhirnya menjadi sebuah budaya yang sulit untuk dihentikan.
"Lalu ini (tindak kekerasan) biasanya menimpa anak-anak pada level bawah, jadi di kelas awal. Nah, ketika dia masih di semester 1 dan 2, dia dihajar tuh sama kakak-kakaknya (senior). Tapi begitu dia punya adik kelas, maka dia akan melakukan itu kepada adik kelasnya. Jadi ini namanya budaya kekerasan, jadi itu sudah ada," jelas Retno.
Lebih lanjut, Retno tidak membenarkan sebuah tindakan pendisiplinan harus dibalut dengan kekerasan.
"Mereka kan (pelaku kekerasan melakukan kekerasan) atas nama pendisiplinan, bilangnya mau penindakan dengan alasan (korban kekerasan) indisiplin (melanggar disiplin). Mau indisiplin atau tidak, ya tidak boleh dilakukan kekerasan," kata Retno.
"Karena Indonesia juga sudah meratifikasi kovenan internasional tentang anti penyiksaan. Jadi kita harusnya tidak boleh melakukan kekerasan atas dasar apa pun, apalagi ini di dunia pendidikan," imbuhnya.
Baca juga: Kasus Kekerasan di STIP Terulang, Pengamat: Ada Sistem Pengawasan yang Lemah
Sebagai informasi, seorang taruna STIP bernama Putu Satria Ananta Rastika (19) tewas usai dianiaya seniornya, Tegar Rafi Sanjaya (21), Jumat (3/5/2024).
Peristiwa bermula ketika Putu dan keempat orang temannya ketahuan oleh Tegar tak mengikuti pelajaran olahraga.
"Untuk siswa tingkat satu (Putu dan keempat temannya) saat itu kegiatannya olahraga, nah si korban ini bersama teman-temannya berjumlah lima orang, menuju ke kamar mandi karena tertinggal atau tidak mengikuti kegiatan olahraga," ucap Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Utara AKBP Hady Saputra Siagian saat dikonfirmasi, Minggu (5/5/2024).
Kemudian, Putu dan keempat temannya dipanggil lalu dikumpulkan ke kamar mandi oleh Tegar. Di dalam kamar mandi, Tegar memukul bagian ulu hati Putu sebanyak lima kali hingga korban tersungkur.
Setelah itu, Tegar mencoba menarik lidah Putu dengan maksud untuk melakukan upaya pertolongan terhadap korban.
Namun, upaya tersebut malah berakibat fatal. Putu tewas karena saat lidahnya ditarik Tegar, saluran pernapasannya tertutup dan menghambat aliran oksigen.
Kasus yang terjadi pada Putu menambah daftar kasus kekerasan di STIP yang terungkap ke publik.
Dalam kurun waktu 16 tahun, tercatat ada empat kasus penganiayaan berujung maut di STIP yang dilakukan senior terhadap junior.
Pemukulan senior ke junior tradisi penindakan
Adapun penganiayaan yang dilakukan senior terhadap junior di STIP disebut tradisi taruna.
“Terkait kasus pemukulan, memang ada yang menyebut (pemukulan) sebagai tradisi taruna. Ada juga yang menyebut sebagai penindakan terhadap junior,” ujar Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Gidion Arif Setyawan di kantornya, Sabtu (4/5/2024).
Sebagai senior tingkat 2, Tegar merasa perlu melakukan ‘penindakan’ ketika melihat juniornya melakukan kesalahan.
“Ada yang salah menurut persepsi senior (TRS), sehingga korban dan empat temannya dikumpulkan di dalam toilet,” kata Gidion.
Baca juga: Jejak Kekerasan di STIP dalam Kurun Waktu 16 Tahun, Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh...
Gidion menyampaikan, ada motif senioritas dalam kasus penganiayaan ini, di mana Tegar memiliki rasa arogansi terhadap juniornya.
“Motifnya ya itu, kehidupan senioritas. Jadi mungkin tumbuh rasa arogansi,” ujar Gidion.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.