JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mencatat saat ini jumlah perjalanan dengan kendaraan di wilayah Jabodetabek setiap harinya mencapai 40,5 juta perjalanan. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 15 persen yang merupakan perjalanan dengan menggunakan angkutan umum.
Terlalu banyaknya pengguna kendaraan pribadi dinilai bukan sebuah situasi yang baik. Sebab kondisi ini menyebabkan meningkatnya volume kendaraan di jalan yang berimbas pada kemacetan dan lamanya waktu tempuh.
Tak cukup sampai di situ, lamanya waktu tempuh juga menyebabkan membengkaknya biaya perjalanan. Biaya perjalanan yang dimaksud adalah biaya bahan bakar untuk mereka yang menggunakan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil.
Pengamat perkotaan, Yayat Supriyatna, menilai lamanya waktu tempuh yang berimbas pada membengkaknya biaya perjalanan memunculkan suatu masalah yang dia istilahkan sebagai "sindrom P13".
Yayat berujar P13 adalah kepanjangan dari "pergi pagi pulang petang pantat panas pinggang pegal pala pusing pendapatan pas pasan".
Menurut Yayat, saat ini banyak warga yang terbebani tingginya biaya perjalanan untuk menuju tempat kerja di Jakarta dari tempat tinggalnya di sekitar Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek). Beban perjalanan berimbas pada terpangkasnya penghasilan.
Yayat menilai cukup banyak warga yang gajinya hanya setara upah minimum provinsi (UMP). Namun biaya perjalanan yang harus mereka keluarkan hampir sepertiga dari gajinya itu.
Dia kemudian mencontohkan pekerja yang hanya digaji Rp 3,1 juta dan harus mengeluarkan biaya perjalanan mencapai sekitar Rp 1 juta.
"Kalau seperti itu nabungnya di mana? Kalau bagi saya itu sindrom P13. Pergi pagi pulang petang pantat panas pinggang pegal pala pusing pendapatan pas-pasan," kata Yayat dalam diskusi "Angkutan Permukiman Solusi Mengurai Kemacetan" di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (7/2/2017).
Menurut Yayat, sindrom P13 merupakan masalah besar. Dia menilai ada efek domino yang menyebabkan hal tersebut. Yayat menyebut ada tiga komponen yang menyebabkan terpangkasnya pendapatan warga yang bermukim di kawasan Jabodetabek.
Ketiganya yakni biaya perjalanan, biaya hunian, dan biaya hidup. Ia menyebut persoalan dimulai dari biaya hunian. Menurut Yayat, semakin mahalnya harga tanah di Jakarta telah menyebabkan banyak orang memilih pindah ke daerah-daerah di pinggir Jakarta.
"Harga rumah yang semakin mahal menyebabkan orang terpingggirkan. Di tengah kota pajaknya tinggi," ujar Yayat.
Menurut Yayat, permasalahan berlanjut saat kawasan permukiman baru yang ada di daerah-daerah sekitar Jakarta tak dilengkapi angkutan umum yang memadai. Kondisi ini yang kemudian memaksa warga untuk memiliki kendaraan pribadi, baik sepeda motor atau mobil.
"Makanya sekarang muncul tsunami motor di mana-mana. Makin lama pengguna kendaraan pribadi semakin meningkat," ucap Yayat.
Karena itu, dia menilai perlu dibangun sebuah sistem angkutan umum yang dapat membuat warga tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi besar dan membuat perjalanan menjadi lebih efektif dan efisien.