Oleh: Ingki RInaldi
Hukum atau politikkah yang menjadi panglima dalam tata kelola pemerintahan? Pertanyaan ini merupakan hal klasik di Indonesia. Contoh terbaru terlihat di Provinsi DKI Jakarta, saat sebagian fraksi di DPRD memboikot rapat dengan eksekutif lantaran Gubernur tersangkut kasus pidana.
Sejak Senin (13/2), Fraksi PKS, Partai Gerindra, PPP, dan PKB di DPRD DKI Jakarta mulai memboikot rapat bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tidak ada rapat kerja. Tidak ada pembahasan apa pun, termasuk pembahasan 32 peraturan daerah (perda) yang pada 2017 ini diprogramkan oleh Badan Legislasi Daerah DPRD DKI Jakarta untuk dirampungkan.
Dari seluruh rancangan perda (raperda) yang mesti dirampungkan itu, 25 di antaranya diajukan oleh pihak eksekutif dan tujuh raperda diinisiasi oleh DPRD DKI Jakarta. Sebagian di antara rancangan perda itu siap dibahas, setelah dikirimkan sebagai naskah akademik oleh Pemprov DKI Jakarta.
Akan tetapi, belum semua unsur pimpinan SKPD bisa mengevaluasi dampak boikot terhadap raperda yang diajukan.
Salah satu raperda yang siap dibahas adalah Raperda tentang Pengelolaan Perusahaan Umum Daerah Air Jakarta. Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta Teguh Hendrawan menyebutkan bahwa raperda itu merupakan domain PD PAM Jaya sekalipun menurut Balegda, perda itu diajukan oleh pihak eksekutif.
Sebagian fraksi yang melakukan boikot menyebutkan, alasan di balik pemboikotan itu adalah keinginan untuk mendapat ketegasan dan kepastian hukum terkait posisi Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta menyusul statusnya sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama.
Seusai cuti kampanye, Basuki yang mencalonkan diri dalam Pilkada 2017 itu kembali menjabat sebagai Gubernur DKI mulai 11 Februari. Pada saat bersamaan, sidang kasus penodaan agama itu masih berlangsung.
Anggota Fraksi PKS, Tubagus Arif, menyebutkan, pihaknya menuntut kejelasan dan ketegasan pemerintah, dalam hal ini Mendagri, terkait polemik pemberhentian sementara Basuki.
Arif juga menyebutkan bahwa sikap fraksinya berikut Fraksi PPP, Partai Gerindra, dan PKB tidak terkait dengan kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017.
PKS dan Partai Gerindra mencalonkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Pasangan ini bersaing dengan Basuki-Djarot Saiful Hidayat yang diusung PDI-P, Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai Nasdem di Pilkada Jakarta 2017. Adapun PPP dan PKB bersama Partai Demokrat dan PAN mencalonkan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Menurut hasil hitung cepat, Agus-Sylvi tersingkir di putaran I Pilkada DKI.
Legalitas
Arif menambahkan, sejumlah kasus hukum sejenis yang menjerat kepala daerah, mestinya bisa dijadikan preseden hukum atau yurisprudensi untuk diterapkan sama kepada Basuki.
Status hukum Basuki, kata Arif, bakal berpengaruh terhadap legalitas pemerintahan di bawah kepemimpinannya. Pada akhirnya, seluruh kebijakan serta produk hukum yang dihasilkan dan terkait dengan Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki akan diragukan, bahkan dianggap nihil keabsahan dan legalitasnya.
Hal ini termasuk sejumlah kebijakan yang terkait dengan investasi dan memerlukan payung hukum. Hal inilah, kata Arif, yang terutama membuat fraksi-fraksi tadi memboikot.