Selepas isya, warga melihat sejumlah laki-laki, yang sedari pagi duduk dan mengobrol di kedai kopi di seberang Gang Hasan, segera merangsek ke mulut gang itu ketika melihat Dayat bersepeda motor melintas menuju Jalan KH Dewantara. ”Ada beberapa suara letusan. Kelihatannya dia melawan, lalu ditembak enggak jauh dari lapangan,” kata seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya.
Awalnya, warga mengira itu kasus pembunuhan. Begitu mereka mendekat, ternyata para laki-laki yang semula diduga preman itu adalah anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. ”Kami dilarang mendekat, kelihatannya mereka juga menangkap satu orang lain, mungkin perempuan,” kata warga lagi.
Namun, drama itu belum usai. Tepat saat pesta malam pergantian tahun, warga tak hanya disuguhi maraknya tebaran kembang api di langit, tetapi juga ketegangan yang mengiringi pengepungan ”markas” terduga teroris. Rentetan tembakan berkali-kali terdengar hingga tengah malam.
Dari mulut ke mulut warga mendengar sisa anggota kelompok Dayat tak mau menyerah. Mereka bertahan di sebuah rumah petak yang mereka kontrak sejak tujuh bulan lalu. Beberapa dentuman keras juga membahana membelah malam.
Hingga fajar terbit pada awal tahun, rentetan tembakan polisi beberapa kali kembali mengoyak udara. Menjelang siang, warga mendapat kabar, dari rumah kontrakan yang berada di bawah rumpun bambu itu, lima terduga teroris tewas.
Tak mengira
”Kami baru tahu kalau mereka teroris setelah ada penggerebekan itu,” kata Dadan, warga Kampung Sawah. Warga tak mengira demikian karena umumnya yang menyewa rumah kontrakan itu adalah ”orang biasa”, seperti pedagang tahu dan tempe. Di tempat itu banyak tempat kontrakan yang ditempati pemulung.
Bangunannya sangat sederhana, terbuat dari batako. Letaknya sedikit menjorok ke dalam, antara kebun dan kolam ikan milik warga. Selama ini banyak di antara pengontrak yang mengontrak dengan waktu singkat. Mereka datang dan pergi.
Warga makin tidak menyangka rumah kontrakan oleh Dayat dan kelompoknya yang diduga terlibat kasus penembakan beberapa polisi dan perampokan bank diubah menjadi ”basis operasi” kegiatan terorisme.
Menurut penuturan tetangga, para terduga teroris itu terlihat baik. Setiap bertemu warga sering menyapa. Memang, mereka rata-rata baru pulang pada malam hari. Sepanjang siang mereka tidak ada di rumah. Kepada warga, mereka mengaku bekerja sebagai pedagang di Pasar Blok M.
Agus Suhaimi, Ketua RW 007, mengatakan, kondisi itu menjadikan pihaknya sulit memantau. Padahal, para pemilik kontrakan sudah sering diingatkan untuk waspada terhadap para calon pengontrak. ”Kami sebenarnya sudah antisipasi, tapi masih kecolongan seperti itu,” ucapnya.
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar, para terduga teroris sengaja memilih permukiman di daerah pinggiran, agak terpencil, dan kepedulian warga kurang. Menurut dia, banyak pemilik kontrakan tidak begitu peduli siapa penyewa rumah mereka dan apa aktivitas mereka. Yang penting laku. Boy mengatakan, rumah kontrakan di Gang Hasan itu, misalnya, telah berubah menjadi ruang operasi dan ruang komando kelompok Dayat.
”Mereka sudah tinggal sekitar satu tahun. Ini sudah menjadi safe house mereka, tempat perencanaan, tempat persembunyian, tempat melakukan konsolidasi,” kata Boy.
Menurut Boy, hal itu bisa diketahui dari jumlah barang-barang yang digunakan untuk mendukung aktivitas kelompok itu. Dari rumah itu polisi menemukan barang bukti seperti pistol, bom pipa, bagan rangkaian bom, tas-tas pribadi yang berisi uang Rp 10 juta-Rp 20 juta, dan bahan-bahan pembuatan bom.
”Itu semua tersimpan di situ. Tidak tertutup kemungkinan, permukiman seperti ini ada banyak di tengah masyarakat kita,” ungkap Boy.