JAKARTA, KOMPAS.com —
Benang kusut penanganan pedagang kaki lima muncul lagi. Pedagang yang tidak tahan dengan sepinya pembeli di tempat relokasi mulai nekat berjualan di jalan. Mereka kembali memicu kemacetan lalu lintas di sekitar pusat perbelanjaan karena kurangnya pengawasan.

Di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pedagang kaki lima (PKL) kembali memenuhi trotoar dan badan jalan di kawasan itu. Lapak dan gerobak dibiarkan berdiri di sepanjang jalan, mulai dari bawah jembatan layang Kebayoran Lama dari arah Jalan HOS Cokroaminoto Ciledug, Tangerang, dan Jalan Veteran, Jakarta Selatan, dari arah Ciputat, Tangerang Selatan, hingga masuk ke kawasan pasar. Mereka berjejer memenuhi trotoar dan ruas jalan di sisi kiri dan kanan kawasan itu.

Tak hanya menjual buah-buahan, pedagang juga menggelar dagangan, seperti ikan, sayuran, umbian, bumbu dapur, dan makanan. Selain itu, digelar juga perabotan rumah tangga, barang kelontong, aksesori seperti topi dan kerudung, hingga pakaian dan permainan anak.

Kehadiran pedagang ini mengganggu perjalanan warga yang melintas atau datang ke pasar untuk berbelanja. Badan trotoar yang sudah diokupasi oleh lapak dan gerobak pedagang itu menyebabkan warga tidak lagi leluasa, aman, dan nyaman berjalan di tempat tersebut.

Trotoar yang terbangun berukuran lebar 1-1,5 meter itu hanya bisa dilalui satu orang. Jika saat bersamaan dua orang berpapasan dari arah berlawanan, mereka harus mengambil posisi badan miring atau saling mengalah untuk melintasi trotoar itu.

”Saya terpaksa harus jalan dengan posisi tubuh yang miring. Kalau tidak, badan saya atau tas saya bisa menyenggol barang dagangan,” kata Regina (45), warga Paninggilan Utara, Ciledug, Minggu (2/3/2014).

”Kami terpaksa balik lagi berjualan di sini. Kalau tidak berdagang, istri dan anak-anak mau makan apa,” ujar Ujang (39), pedagang buah-buahan.

Pemandangan yang sama terjadi di kawasan Palmerah Barat, terutama pada sore hingga malam hari. Pedagang kembali menduduki trotoar karena tidak ada petugas yang mengawasi.

Pemandangan ini berbeda jauh ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menertibkan kawasan itu menjelang dan sebulan setelah Lebaran.

Belum prioritas

Persoalan PKL di Kebayoran Lama itu diakui Kepala Bagian Operasi Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Sunardi Sinaga. Menurut dia, penataan PKL di Kebayoran Lama belum menjadi prioritas seperti di Pasar Tanah Abang dan Jatinegara. ”Penataan di sana akan jadi prioritas berikutnya. Tetapi, seharusnya tetap bisa dikontrol,” kata Sunardi.

Bukan hanya dinas perhubungan, program penataan PKL juga melibatkan sejumlah pihak, seperti satuan polisi pamong praja dan pemerintah setempat mulai dari tingkat kelurahan hingga kota. Model kerja sama seperti ini sebelumnya dipakai untuk menata PKL di Tanah Abang. Setelah penataan, idealnya ada program lanjutan sehingga pedagang tidak turun kembali ke jalan.

Sayangnya, sebagian PKL merasa belum mendapatkan sentuhan dari pemerintah setelah berada di tempat relokasi. Pedagang Pasar Blok G, Tanah Abang, misalnya. Walaupun sudah ada program promosi, hadiah bagi pembeli, bahkan peningkatan fasilitas sarana pasar, ternyata pengunjung belum banyak yang datang ke pasar itu.

Sebagian pedagang menutup lapaknya dan berjualan di tempat lain. Sebagian lagi bertahan dalam keterbatasan. Taufik, pedagang pakaian di Pasar Blok G, Tanah Abang, menagih janji permodalan dan program pelatihan dari Pemprov DKI Jakarta. Menurut dia, relokasi pedagang tidak cukup hanya dengan memindahkan pedagang dari satu tempat ke tempat lain.

Penilaian serupa disampaikan Ketua Asosiasi PKL Indonesia Jakarta Hoziah Siregar. Menurut dia, membangun pasar lebih mudah daripada mendatangkan pembeli ke pasar.

Menanggapi persoalan itu, Irwandi, Sekretaris Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Perdagangan DKI Jakarta, mengatakan, program pembinaan PKL memang belum banyak dilakukan. (NDY/PIN)