"Dalam konteks ini, Jokowi tidak bisa tidak memberi sanksi. Presiden sebagai kepala negara harus beri sanksi paling tidak teguran tertulis sebagai cerminan revolusi mental. Bukankah pelanggaran etika bukan mencerminkan revolusi mental," ujar Emrus dalam rapat angket, Kamis (26/3/2015).
Emrus mengatakan bahwa ia begitu prihatin ketika menonton siaran wawancara tersebut. Pasalnya, ia melihat Aiman Witjaksana, pembawa acara Kompas TV, telah memohon kepada Ahok untuk bersikap lebih sopan. Aiman telah mengingatkan bahwa siaran tersebut dilakukan secara live. Akan tetapi, Ahok justru mengenyampingkan hal tersebut.
Emrus mengatakan, sikap Ahok sudah termasuk kekerasan verbal di ruang publik. Selain itu, Emrus juga mengatakan orang yang membenarkan sikap Ahok berkata kotor di ruang publik berarti juga tidak beretika.
Hal ini pula yang menjadi dasar bagi Emrus untuk membenarkan sikap DPRD DKI membentuk tim angket etika Ahok. "Jadi kalau DPRD lakukan hak angket dalam konteks etika, saya pikir wajar. Kalau engga lakukan, saya yang akan kritik bapak," ujar Emrus.
Terkait bahasa "toilet" ini, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah meminta maaf kepada pihak-pihak yang tersinggung atas perkataan kasarnya beberapa waktu lalu saat menjalani wawancara di Kompas TV. Beberapa kali bahasa "toilet" itu keluar dari mulutnya saat menanggapi pertanyaan penyiar Kompas TV, Aiman Witjaksono, soal tuduhan yang mengatakan dirinya mencoba menyuap Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi senilai Rp 12,7 triliun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.