JAKARTA, KOMPAS.com - Budayawan Betawi, Ridwan Saidi, menilai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak perlu menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur dalam upaya mempromosikan tempat bersejarah di Jakarta.
Fokus yang lebih perlu dikedepankan adalah narasi atau cerita di balik tempat bersejarah yang bisa disampaikan kepada turis.
"Pemda DKI itu senangnya infrastruktur, ada kuburan yang dipugar setahun keluar biaya Rp 300 juta. Kenapa enggak mempromosikan narasi. Di Pasar Ikan yang Ahok (sapaan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) gusur itu adalah situs-situs penghuni awal Jakarta. Saya menulis rekonstruksi sejarah Indonesia diterjemahkan ke bahasa Arab, dan mereka senang, ternyata orang Arab punya sejarah di sini," kata Ridwan saat menghadiri talk show "Membangun Jakarta untuk Rakyat" yang diadakan DPP PAN, Rabu (19/10/2016).
Ridwan menuturkan, Pemprov DKI Jakarta juga tidak perlu repot-repot memikirkan transportasi bagi para turis. Dari pengalamannya, banyak turis yang berkunjung ke kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, memanfaatkan bus transjakarta lalu menyambung perjalanannya dengan ojek sepeda.
"Ojek sepeda itu, jalan dari Beos kan ojeknya kena angin laut. Si ojek sepeda, kancingnya dibuka. Dari dalam bajunya itu baunya ampun. Tapi saya heran, turis-turis cewek itu demen. Itu saja yang diurus, ganti saja baju si ojek, kasih seragam, kan enggak mahal," tutur Ridwan.
Model promosi tempat bersejarah dengan narasi diyakini Ridwan bisa mendatangkan banyak turis. Hal itu telah dibuktikan oleh pemerintah di Perancis, yang hanya mengandalkan papan nama penjara Bastille dan narasi oleh pemandu wisata. Padahal, bangunan penjaranya sudah tidak utuh lagi.
Selain itu, Ridwan juga mengeluhkan seringnya Pemprov DKI Jakarta mengganti-ganti nama jalan dan tempat. Hal itu dianggap menyulitkan dirinya dan para peneliti sejarah lainnya dalam menceritakan riwayat sebuah tempat ke orang lain.
"Kayak Pulau Bidadari, itu sebenarnya Pulau Putri," ujar Ridwan. (Baca: Pengelola Berencana Pagari Kawasan Kota Tua)