JAKARTA, KOMPAS.com - Polda Metro Jaya mempersilakan Buni Yani jika ingin mengajukan praperadilan terhadap penetapan dirinya menjadi tersangka dalam kasus penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Awi Setiyono mengatakan pengajuan praperadilan merupakan hak setiap warga negara Indonesia.
"Enggak ada masalah, itu memang sudah prosedur hukum," ujar Awi di Mapolda Metro Jaya, Jumat (25/11/2016).
Awi meyakini bahwa polisi telah bekerja sesuai prosedur dalan penetapan Buni Yani sebagai tersangka. Oleh karena itu pihaknya siap menghadapi praperadilan tersebut.
"(Prapradilan) itu salah satu untuk mengukur bahwasanya kinerja polisi ini betul atau tidak," kata Awi.
Sebelumnya, kuasa hukum Buni Yani, Aldwin Rahardian menilai penetapan tersangka terhadap kliennya tidak mendasar. Oleh karena itu, pihaknya berniat mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka tersebut.
"Yang jelas status Pak Buni menjadi tersangka ini akan kami lakukan segera upaya hukum praperadilan, itu dulu sementara," ujar Aldwin di Mapolda Metro Jaya saat menjemput Buni pada Kamis (24/11/2016).
Polda Metro Jaya telah menetapkan Buni Yani menjadi tersangka dalam kasus penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
Polisi memastikan Buni Yani jadi tersangka bukan karena telah mengunggah potongan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada akhir September 2016 yang isinya kemudian diduga mengandung unsur penistaan agama. (Baca: Merasa Kecewa, Buni Yani Akan Ajukan Praperadilan)
Namun, polisi menetapkan Buni sebagai tersangka karena caption yang dia tulis di akun Facebook-nya saat mengunggah video itu. Tiga paragraf yang ditulis Buni, kata Awi, dinilai saksi ahli dapat menghasut, mengajak seseorang membenci dengan alasan SARA.
Dalam kasus ini, Buni terancam dijerat Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi dan Transaksi Elektronik tentang penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Ancaman hukumannya, maksimal enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar.