JAKARTA, KOMPAS.com - Tim hukum dan advokasi pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta nomor pemilihan dua Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat mempertanyakan putusan Bawaslu DKI Jakarta terkait gugatan terhadap surat keputusan (SK) yang dikeluarkan KPU DKI Jakarta yang mencantumkan adanya kampanye pada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017.
SK tersebut yakni SK Nomor 49/Kpts/KPU-Prov-010/Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 Putaran Kedua.
Anggota tim hukum dan advokasi Ahok-Djarot, Pantas Nainggolan, mempertanyakan tidak adanya keterangan saksi ahli yang dihadirkan Bawaslu dalam pertimbangan putusan tersebut.
"Keterangan saksi ahli yang diajukan Bawaslu sama sekali tidak dicantumkan. Kami duga karena kebetulan keterangan saksi ahli yang diajukan oleh Bawaslu setuju, sependapat, dengan dalil-dalil permohonan kami," ujar Pantas di posko tim pemenangan Ahok-Djarot, Jalan Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/3/2017).
Apabila keterangan saksi ahli yang dihadirkan Bawaslu dicantumkan sebagai pertimbangan, lanjut Pantas, mungkin Bawaslu tidak akan menolak gugatan mereka.
"Artinya kalau itu dicantumkan, maka keputusannya mungkin akan sangat berbeda akan sangat kontradiktif," kata dia.
Dengan tidak adanya keterangan saksi ahli yang dihadirkan Bawaslu dalam pertimbangan putusan mereka, tim hukum dan advokasi Ahok-Djarot meragukan independensi Bawaslu DKI Jakarta.
Menurut Pantas, dari semua saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang penyelesaian sengketa, hanya keterangan saksi ahli yang dihadirkan Bawaslu sendiri yang tidak dicantumkan dalam pertimbangan putusan mereka.
"Itu salah satu indikator bahwa Bawaslu tidak independen dalam pelaksanaan tugasnya sebagai pengawas," ucap Pantas.
Selain Bawaslu DKI Jakarta, tim hukum dan advokasi Ahok-Djarot juga meragukan independensi KPU DKI Jakarta yang menerbitkan SK Nomor 49 tersebut. Sebab, sebelum pelaksanaan putaran kedua, ketentuan yang menjadi acuan pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta 2017, baik putaran pertama maupun putaran kedua, yakni SK Nomor 41.
Dalam SK Nomor 41, kampanye pada putaran kedua hanya berbentuk debat yang diselenggarakan KPU DKI, tanpa ada pertemuan tatap muka, pertemuan terbatas, dan penyebaran bahan kampanye.
Perubahan itulah yang membuat tim Ahok-Djarot mengajukan gugatan sengketa kepada Bawaslu DKI Jakarta untuk meminta SK Nomor 49 dibatalkan dan kembali mengacu pada SK Nomor 41.
"Sejak putaran pertama, pedoman yang kita jadikan acuan untuk melaksanakan seluruh tahapan Pilkada adalah surat keputusan KPU DKI Nomor 41. Namun, tiba-tiba keluarlah SK Nomor 49 yang mengubah masa kampanye di putaran kedua ini. Itu salah satu indikasi (KPU DKI tidak independen)," kata Pantas.
(Baca juga: Imbauan RT/RW Hadiri Posko Anies-Sandi, Tim Ahok-Djarot Lapor Bawaslu)
Bawaslu DKI Jakarta sebelumnya menolak permohonan gugatan Ahok-Djarot melalui tim hukum dan advokasinya terkait SK Nomor 49. Permohonan Ahok-Djarot dinilai tidak beralasan hukum.
Bawaslu DKI Jakarta menilai, SK Nomor 49 yang menyatakan adanya kampanye merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat sehingga bisa melibatkan masyarakat seluas-luasnya untuk ikut serta mempertajam visi, misi, dan program pasangan calon.
Selain itu, SK Nomor 49 juga membuka ruang pendataan pemilih yang belum menggunakan hak pilihnya pada putaran pertama. Dengan demikian, Bawaslu DKI Jakarta juga menilai KPU DKI Jakarta telah tepat untuk menerbitkan SK Nomor 49.
(Baca juga: Diintimidasi saat Turunkan Alat Peraga Kampanye, Panwaslu Akan Laporkan Pendukung Ahok-Djarot )
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.