JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah 40 tahun lamanya Satimin menghabiskan pagi dengan memandikan burung dan kandang di pinggir Jalan Barito, Jakarta Selatan.
Rabu (31/1/2018) pagi, Kompas.com berbincang dengan Satimin di sela kegiatannya. Perbincangan seputar bagaimana Pasar Barito bisa bertahan di tengah pembangunan Jakarta yang semakin modern.
"Saya dan Pak Haji (ketua pedagang Barito) yang pertama dagang di sini tahun 1978. Dulu belum ada trotoar, jalan saja belum segede ini, masih sempit," kata Satimin.
Kawasan Kebayoran kala itu belum jadi pusat kegiatan komersial seperti sekarang. Kebayoran jadi tempat bermukim kelas menengah ke atas Ibu Kota dengan udara dan pepohonannya yang sejuk. Karena berdagang di atas tanah tak bertuan, Satimin pun mengajukan izin agar bisa berjualan burung di sana.
"Waktu itu Gubernurnya Pak Tjokropranolo. Saya disuruh buat surat izin berdagang ke Pak Gubernur. Masalahnya waktu itu bingung bagaiaman cara mengetik surat, saya sampai ke Ciledug cari mesin ketik," kenangnya.
Tjokropranolo pun mengizinkan. Tahun 1982, sepanjang Jalan Barito kemudian dibuka untuk pedagang. Para pedagang sendiri yang membangun tempat mereka. Mereka menatanya agar pedagang hewan, buah, dan makanan dikelompokkan sesuai jenisnya masing-masing.
Sejak saat itu, kemahsyuran Jalan Barito terdengar sampai ke penjuru Ibu Kota, Indonesia, bahkan dunia. Meski terletak di pinggir jalan dan kios-kiosnya dari kayu serta tripleks, banyak tokoh yang berkunjung untuk berbelanja.
"Ada pensiunan Deplu yang langganan belanja di sini, dia sudah dinas di 9 negara. Katanya tempat beli burung yang terkenal di luar negeri itu ya Barito. Sultan Brunnei juga sudah tiga kali belanja di sini, semua diborong, jalan sampai ditutup satu jam," kata Satimin.
Nyaris digusur
Isu penggusuran pernah menerpa pedagang Barito tahun 2008-2009. Kala itu, Indonesia tengah menghadapi wabah flu burung. Para pedagang rencananya akan direlokasi ke Cibubur, sebab Jalan Barito berada di pusat permukiman dan aktivitas masyarakat. Barito akan dikembalikan fungsinya sebagai jalur hijau. Namun para pedagang menolak. Barito sudah terlanjur dikenal dan memiliki pelanggan setia.
"Ada juga dokter dari RS Gandaria yang pasang badan, dia langganan di sini, dan membela kami karena percaya burung-burung hias yang dijual di sini tidak berbahaya," ujar Satimin.
Wacana penggusuran itu pun batal. Flu burung sirna dengan sendirinya.
Jakarta kembali melanjutkan agenda penataannya. Perubahan yang paling baru yakni pada 2016. Pemprov DKI Jakarta membangun trotoar lebar di kawasan Barito tepat di depan pedagang dan di seberangnya.
Trotoar di Barito boleh jadi salah satu yang paling bagus di Jakarta. Lebarnya sekitar lima meter, dilengkapi dengan bangku taman, hingga area parkir kendaraan. Ada juga guiding block bagi tuna netra serta bollard untuk menghalau kendaraan.
Di tengah riuh rendah masalah pedagang kaki lima Jakarta, Barito justru menunjukkan ketertiban yang jarang ditemui. Para pedagang tak mengokupasi trotoar, mereka hanya mengambil sebagian area trotoar di pagi hari untuk memandikan burung. Mereka bahkan mencuci sendiri trotoar dan memasang bak sampah untuk pejalan kaki.