JAKARTA, KOMPAS.com - Akhir tahun 1987, Elita Gafar (56) hanya berpikir untuk mati. Pikirannya mengawang dan kakinya serasa tak memijak bumi. Namun, dari situlah Elita mencapai titik balik hidupnya kelak.
"Saya dapat kabar suami saya menikah lagi. Sebelumnya saya enggak tahu," ujar Elita kepada Kompas.com, Jumat (7/8/2020).
Bak petir menyambar di siang bolong, ia sangat kecewa. Elita ingin mati mendengar kabar pernikahan suaminya yang masih sah kala itu. Elita kalut.
Pernikahannya gagal. Ia kemudian berhasil mengetahui informasi acara pernikahan suaminya. Dari rumah, Elita naik vespa ke acara pernikahan suaminya yang masih berada di sekitar Kota Padang, Sumatera Barat.
"Saya datang pernikahannya. Saya ingin membunuh dia karena galau banget hidup saya. Saya sudah bawa pisau," katanya.
Baca juga: Perjuangan Deasy, Narik Ojol Ditemani Anak demi Sambung Hidup
Namun, takdir berkata lain. Tuhan tak ingin Elita menjadi pembunuh. Ia hanya bersalaman dengan suami dan istri barunya kala itu.
Elita berkata “Selamat ya tapi kamu akan berurusan dengan saya,".
Saat itu Elita menikah pada usia 22 tahun. Pendidikannya baru sebatas tamat SMEA. Ia menikah sambil menjalani kuliah jenjang D3 di sebuah perguruan tinggi di Kota Padang.
Ia sangat kecewa lantaran suaminya memilih untuk menikah lagi karena Elita berasal dari keluarga miskin dan hanya lulusan SMEA. Sementara, suaminya saat itu lulusan sarjana dan seorang yang bekerja di lembaga penegak hukum.
"Dari situ saya bertekad untuk berhasil dan memacu saya dari kegagalan hidup untuk lebih maju," kata Elita.
Di saat prahara rumah tangga itu terjadi, Elita sudah menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Ia harus membantu membiayai keenam adiknya dan orangtuanya.
Elita merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara. Ayahnya dulu bekerja sebagai kusir bendi dan ibunya seorang penjual kue dan nasi.
Mereka hidup di pinggir Kota Padang. Kehidupan masa kecil sudah ia jalani dengan membantu orangtua berjualan pisang goreng.
"Saya ketuk pintu orang-orang jual gorengan. Saya dulu sudah belajar menyakinkan orang untuk membeli pisang goreng," katanya.
Ayah dan ibunya tak mengecap pendidikan. Untuk baca tulis, Elita yang mengajarkan kedua orangtuanya saat ia menginjak bangku pendidikan SMP.
Semasa sekolah, Elita berprestasi. Namun karena keterbatasan ekonomi, ia pun terpaksa membuang kesempatan untuk kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN).
"Karena itu keluarga tak mampu, jadi saya menguburkan cita-cita ke kuliah. Kalau orang berlari, saya melangkah untuk kuliah," katanya.
Baca juga: Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kota Tangerang Meningkat Selama Pandemi
Ayahnya tak bekerja lagi sebagai kusir bendi lantaran sakit-sakitan. Kudanya dijual Rp 77.000 saat itu dan dibelikan sebidang tanah.
Ayahnya sempat bekerja sebagai kuli bangunan dan ibunya berjualan nasi. Di rumahnya, Elita membantu ibunya untuk berjualan nasi saat ia SMP dan SMEA.