SUATU ketika, warga kota kesulitan melewati jalanan karena sedang berlangsung pekerjaan penggalian pipa air. Usai pipa air dibangun, sebulan kemudian di tempat yang sama berlangsung proyek pekerjaan lain. Kali ini pemasangan pipa gas.
Selang bulan, masih di tempat yang sama, kembali dilakukan penggalian tanah untuk proyek berbeda. Warga kota menahan marah dan tidak bisa berbuat banyak karena proyek demi proyek silih berganti menerpa jalanan yang sama.
Warga menjadi tidak peduli. Proyek dikerjakan asal, tanpa perencanaan, tidak ada koordinasi dan tanpa pengawasan. Boleh jadi, penggalian demi penggalian memang dilakukan demi modus mencari komisi proyek.
Mau jadi kota metropolitan selevel kota-kota besar di dunia? Jangan mimpi indah dulu, Jakarta masih “primitif” walau gubernur setiap lima tahun silih berganti. Selama masih “besliweran” dan “gentanyangan” aneka kabel di semua jalan seantero Jakarta.
Andai Anda, termasuk saya, menjadi bagian dari keluarga atau Sultan Rifat Al Fatih (20), tentu tidak bisa membayangkan kehidupan kelak.
Bermaksud menikmati liburan di Jakarta, mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, semester 6 itu melintas Jalan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan, dengan kendaraan roda dua, 5 Januari 2023.
Saat menyusuri jalanan yang terletak sekitar 12,4 kilometer dari Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta (menurut hitungan jarak Google Maps), tiba-tiba ada juntaian kabel fiber optik yang melesat usai tersangkut di mobil yang berada di depannya ke arah Sultan Rifat.
Akibatnya sungguh fatal, dengan daya lenting yang cukup besar kabel fiber optik yang terbuat dari baja tersebut menjepret leher Sultan Rifat.
Setelah sempat tidak sadarkan diri selama perawatan di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan dan dipindahkan ke RSCM Jakarta, Sultan Rifat hingga kini masih belum bisa bicara.
Jangankan bicara, Sultan Rifat harus menggunakan selang untuk bernapas. Makan dan minum juga bergantung dengan keberadaan selang yang menempel di mulutnya.
Sultan Rifat tidak bisa lagi normal karena tulang tenggorokannya putus akibat baja kabel fiber optik (Kompas.com, 30/07/2023).
Apakah perusahaan yang memasang kabel fiber optik tersebut bertanggungjawab? Apakah Dinas Bina Marga Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang bertanggungjawab terhadap keberadaan utilitas di Ibu Kota ikut merasa bersalah?
Apakah kepala Dinas Binas Marga pernah menjenguk atau sekadar menyatakan simpati kepada keluarga korban? Apakah karena sibuknya sampai penjabat gubernur DKI Jakarta tidak punya waktu mengurus korban? Semuanya sama saja, semuanya mbelgedhes!
Perusahaan yang bertanggungjawab atas jaringan kabel fiber optik yang salah satu kabelnya menjerat leher Sultan Rifat Alfatih “hanya” bersimpati usai kejadian dengan mendatangi rumah korban.
Janji-janji untuk bertanggungjawab penuh hanyalah “bualan” belaka. Hingga sekarang, perusahaan yang pasti dimiliki pengusaha kaya tersebut lenyap tanpa kabar.