PEKAN kemarin, Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono melantik pejabat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
Karena jumlahnya banyak, pelantikan dilakukan sampai tiga gelombang dalam tiga hari. Masih pada pekan lalu, Heru juga mengumpulkan jajarannya untuk memberikan pesan khusus.
Ada beberapa kejadian menarik dalam rangkaian peristiwa tersebut. Sejumlah media, termasuk Kompas turut memberitakannya.
Pertama, soal kedisiplinan. Pemicunya adalah sejumlah pejabat yang dilantik tidak mengenakan kemeja putih sebagaimana disebutkan dalam undangan.
Kedua, soal manuver Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mencari jabatan. Bahkan, kata Heru, pergerakan bukan hanya dilakukan oleh si pegawai, melainkan melibatkan pasangannya juga.
Pj Gubernur mencontohkan satu kasus saat seorang suami yang juga pejabat ASN meminta istrinya diberi jabatan di Pemprov DKI.
“Suami ikut WA-WA (WhatsApp) saya, urusannya apa?” tanya Heru.
Ketiga, Heru mengancam akan mencopot atasan manakala bawahannya yang dipromosikan ternyata tidak berkinerja baik. Sehingga setiap pejabat harus tahu betul siapa anak buahnya yang layak mendapatkan rekomendasi promosi jabatan.
Urusan jabatan di lingkungan birokrasi memang selalu seru. Birokrasi zaman dulu identik dengan kemapanan, ajeg, teratur. Penentuan promosi menggunakan urut kacang (dari yang lebih tua).
Secara normatif, ada yang namanya Daftar Urut Kepangkatan (DUK) yang menjadi acuan siapa yang lebih berhak mendapatkan jabatan. Dalam kenyataannya, kadang DUK berubah menjadi Daftar Urut Kedekatan.
Kalau dulu, urusan seperti ini hanya akan menjadi pergunjingan di kantin, dapur, atau ruang panel tempat berkumpulnya ‘ahli hisap’. Tidak seperti sekarang, semua dibicarakan terang-terangan.
Maklum, birokrasi di Indonesia memang sedang bertransformasi, seiring perubahan demografi di dalamnya. Generasi Y alias millennial (kelahiran 1981-1996) dan generasi Z (1997-2012) berada di satu percaturan yang sama dengan generasi X (1965-1980), bahkan baby boomers (1946-1964).
Kalau sekadar "ngrasani si anu kok bisa jadi anu", saya rasa sih tidak masalah. Begitu juga kalau birokrat Gen Y ataupun Gen Z yang ngarep dapat jabatan. Itu masih sah-sah saja.
Baru menjadi masalah kalau Anda kemudian bergerak ke sana kemari untuk dapat posisi tertentu.
PNS muda, khususnya Gen Y dan Gen Z, seharusnya memacu diri untuk bekerja profesional. Bukan justru memelihara budaya negatif yang telanjur ada.