“Ada loh yang baru satu, dua tahun menjadi eselon empat yang sudah mencari celah promosi,” ungkap Heru. Wajar kalau beliau kemudian jadi jengah.
Undang-undang Aparatur Sipil Negara, yang baru saja direvisi itu, sebetulnya sudah mengatur soal sistem merit.
Apa lagi nih? Sistem merit didefinisikan sebagai kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, yang diberlakukan secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi.
Upaya mewujudkan sistem merit pastinya tidak mudah. Ada pola dan kebiasaan yang telanjur mengakar kuat. Butuh gebrakan dan komitmen pimpinan untuk mewujudkannya.
Jauh sebelum Seleksi Terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi digunakan di hampir semua instansi saat ini, Joko Widodo, saat menjadi Gubernur Jakarta sempat mengadakan seleksi terbuka (kerap disebut juga lelang jabatan) untuk jabatan eselon 3 dan 4.
Untuk jadi seorang camat dan lurah di Jakarta pun saat itu harus melalui seleksi terbuka.
Namun, seleksi terbuka bukanlah obat ajaib yang menyembuhkan patologi birokrasi. Seleksi terbuka memang membuka kesempatan yang setara bagi siapapun untuk ambil bagian dalam pengisian jabatan, sepanjang memenuhi syarat tentunya.
Akan tetapi, tahapan-tahapan selanjutnya menjadi penting untuk dievaluasi. Misalnya, apakah Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) benar-benar memegang teguh profesionalitas?
Kalau masih ada like-dislike, kedekatan emosional dan primordial, patron-klien, ya percuma.
Melihat rekam jejak Pj Gubernur Heru yang merintis karier di birokrasi, ada harapan untuk Jakarta bisa membenahi manajemen aparaturnya.
Jakarta sedang merintis jalan menuju kota global, maka dibutuhkan sumber daya manusia yang juga berkualifikasi tinggi dan penerapan meritokrasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.