JAKARTA, KOMPAS.com - Menjelang kumandang azan maghrib, Anwar dan Rizky (bukan nama sebenarnya) tampak melamun di atas dipan kayu di pertigaan yang mempertemukan Jalan Bunga Flamboyan dan Jalan Bunga Melati.
Sambil bersandar pada dinding rumah berkelir hitam, mata mereka juga memandangi ruas jalan yang penuh dengan lalu lalang kendaraan dan hiruk pikuk warga Cipete Selatan mencari takjil untuk berbuka puasa.
Suasana Selasa (2/4/2024) sore itu sangat ramai. Meski deru mesin kendaraan dan bunyi klakson tak terhindarkan, lamunan keduanya tak terpecahkan.
Sesekali mereka mengembuskan napas panjang. Walau kata orang-orang pekerjaan sopir mikrotrans di Jakarta sudah menjanjikan, nyatanya, sulit mencari cuan tetap tak terbantahkan.
Lamunan seketika pecah setelah salah satu dari mereka mempertanyakan nasib tunjangan hari raya (THR) sebagai pramudi mikrotrans. Sebab, keduanya tidak menerima secara utuh.
“Kami semua, sopir di seluruh DKI Jakarta, khususnya (di bawah naungan) KWK (yang bermitra dengan PT Transportasi Jakarta atau TransJakarta), pada sedih,” kata Anwar saat berbincang dengan Kompas.com.
“Biasanya terima (THR) agak banyak, kok (tahun) ini jeglek (turun) di angka Rp 3.030.000 juta. Tahun 2023 kemarin, (terima) Rp 4.250.000 juta,” lanjut Anwar.
Mereka yang sudah bekerja jalan enam tahun ini tidak mengerti apa yang membuat THR para sopir ini menjadi berkurang.
Keduanya hanya bisa menggelengkan kepala mengingat lebaran sebentar lagi tiba.
Istilah THR bagi para pramudi mikrotrans mempunyai kepanjangan yang berbeda, yakni tabungan hari raya, bukan tunjangan hari raya.
Pasalnya, Anwar menjelaskan, “THR” yang mereka terima beberapa hari lalu dihimpun berdasarkan potongan gaji setiap kali bekerja dalam satu hari.
“Saya per hari bersihnya mendapatkan Rp 145.000, itu sudah termasuk potongan Rp 12.900 untuk THR jelang Lebaran. Tapi, (THR kami) dihitungnya itu Rp 11.000, ya kami pada kaget,” ujar Anwar.
Baca juga: Disnaker DKI Jakarta Petakan Perusahaan yang Berpotensi Tak Mampu Bayar THR
“Kita saja bekerja selama satu tahun, tapi dihitungnya cuma sedikit. Padahal, kita libur dalam satu bulan cuma dua hari. Nah, kok dihitungnya cuma 10 bulan? Yang lainnya ke mana?” tambahnya.
Dalam satu tahun terakhir, Anwar dan Rizky memastikan bahwa mereka bekerja lebih dari 10 bulan. Boro-boro meliburkan diri, toh dapur di rumah harus tetap mengebul setiap harinya.
“Sistemnya itu, kalau bekerja, ya dapat upah. Nah, kalau kerja, dipotong Rp 12.900 itu buat THR. Selama satu bulan, kami terima upah ya dua kali. 15 hari pertama dan 15 hari kedua. Libur dalam satu bulan cuma dua hari,” ungkap Rizky.