JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat isu bekelanjutan (sustainability) Sigmaphi, Gusti Raganata menilai, pembangunan Refuse Derived Fuel (RDF) Plant di Rorotan, Jakarta Utara, bukan merupakan solusi yang tepat.
"Itu sepengetahuan saya hanya solusi palsu pengelolaan sampah," ujar Gusti saat diwawancarai Kompas.com, Kamis (4/4/2024).
Baca juga: Teknologi RDF Plant Dianggap Tidak Tepat Atasi Masalah Sampah di Jakarta
Sebab, RDF Plant hanya memiliki daya serap pengelolaan sampah sekitar 30 persen.
Sementara sisanya akan kembali menjadi tumpukan sampah dan membutuhkan lahan lagi untuk menampungnya, yakni Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST).
Pengelolaan sampah dari RDF Plant bisa menghasilkan bahan bakar alternatif yang digunakan pabrik semen dan pembangkit listrik.
Namun, menurut Gusti, belum tentu bahan bakar alternatif itu bisa digunakan dengan baik oleh pabrik semen dan pembangkit listrik.
"Selain itu, belum tentu pelet yang dihasilkan dapat diserap oleh pabrik semen atau pembangkit listrik," sambung dia.
Selain itu, Gusti juga menilai pelet dari pengelolaan sampah dengan RDF justru berpotensi memperpanjang usia Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara.
Baca juga: Pemprov DKI: Groundbreaking RDF Plant Rorotan Setelah Pengumuman Kontraktor
"Kedua, pelet yang dihasilkan untuk menjadi bahan bakar PLTU sehingga justru memperpanjang usia PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara," jelas dia.
Karena kedua faktor itulah, RDF Plant Rorotan disebut sebagai solusi palsu pengelolaan sampah.
Gusti juga membandingkan RDF dengan Intermediate Treatment Facility (ITF) yang lebih banyak digunakan di kota-kota besar di dunia.
Jepang, Singapura, dan banyak negara Eropa menggunakan ITF karena dinilai ramah lingkungan.
"Teknologi ITF selalu berkembang sehingga mencapai posisi saat ini yang dikenal ramah lingkungan," terang Gusti.
Sedangkan RDF belum punya preseden keberhasilannya di negara maju.
Baca juga: Pembangunan RDF Plant Rorotan Diharapkan Berlangsung Mulai Maret 2024
Ia menambahkan, RDF mungkin cocok untuk mengelola volume sampah yang rendah di kota kecil, tapi tidak untuk kota Jakarta.