Menurut Basuki, pihak swasta, pengelola Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, PT Godang Tua Jaya (GTJ), telah mengajukan kerja sama dengan Pemprov DKI hingga Juni ini. Namun, Basuki menolaknya. "Kita mau kelola saja sendiri, beli ratusan truk sampah sendiri," kata Basuki di Jakarta.
Basuki menilai, perusahaan tersebut tidak memiliki kinerja baik, padahal tiping fee (biaya pembuangan) sampah terus bertambah. Dia juga mempertanyakan lahan pembuangan sampah yang diolah oleh PT GTJ. Karena ternyata lahan 100 hektar tersebut milik Pemprov DKI.
PT GTJ merupakan perusahaan pemenang lelang operator pengolahan sampah. Kebingungannya bertambah saat mengetahui kontrak yang terjadi antara Pemprov DKI bersama PT GTJ selama 15 tahun. Selama kontrak berjalan, tiping fee sampah yang harus ditanggung Pemprov DKI kepada PT GTJ selalu bertambah. Awalnya dibayarkan sebesar Rp 114.000 per ton. Tahun ini, tiping fee naik sebesar Rp 123.000 per ton.
"Tahun ini, kita bayar Rp 123.000 per ton untuk buang sampah di tanah saya. Logikanya, kalau itu tanah dia, bisa diterima, tapi ini kan tanah saya, jadi lucu," kata Basuki.
Biaya tiping fee itu di luar biaya angkut yang harus dibayarkan Pemprov DKI melalui Dinas Kebersihan kepada swasta. Untuk pengangkutan sampah dengan kendaraan tipe kecil Rp 22.393 per ton dan dengan tipe angkutan besar Rp 167.343 per ton.
Hal itu pula, menurut Basuki, yang menyebabkan Pemprov DKI tidak pernah mampu membeli truk sampah. Sebab, anggarannya habis untuk pembayaran tiping fee sebesar Rp 287,8 miliar per tahun dan biaya pengangkutan sampah yang cukup besar.
Menurutnya, Pemprov DKI lebih baik membeli lahan sendiri untuk tempat pembuangan sampah akhir daripada harus mengeluarkan anggaran hingga Rp 400 miliar lebih per hatin.
DKI Merugi
Selama ini, pengelolaan sampah di Jakarta melewati beberapa tahap, mulai dari penyapuan dan pengumpulan sampah; pengangkutan dan pembuangan sampah serta; pengolahan terakhir sampah.
Untuk menyapu sampah per meter persegi, anggaran yang dihabiskan sebesar Rp 2.777. Penyapuan ini untuk lokasi publik dan juga di kawasan pemukiman. Sementara untuk pengangkutan dari penampungan sementara menuju tempat penampuangan terakhir, mengeluarkan anggaran dengan dua tipe.
Pengangkutan dengan kendaraan tipe kecil Rp 22.393 per ton dan angkutan besar Rp 167.343 per ton. Hingga di Bantargebang, Pemprov DKI Jakarta juga harus membayar Rp 123.000 per ton. Jika dihitung dari penyapuan hingga TPST Bantargebang, total anggaran yang harus dikeluarkan mencapai Rp 300.000 per ton.
PT GTJ mendapatkan kontrak kerja sama pengelolaan sampah dengan Pemprov DKI selama 15 tahun sejak 2008. Dalam perjanjian, mereka membangun pengelolaan sampah berteknologi Gassification, Landfill danAnaerobic Digestion (Galfad) dan menjual listrik serta kompos.
PT GTJ dinilai merugikan Pemprov DKI karena hingga saat ini, teknologi pengolahan sampah menjadi energi yang disebutkan dalam kontrak, tidak juga dibangun. Mereka belum membuat teknologi pengelolaan sampah dengan Galfad, melainkan hanya Landfill Gas, bukan Anaerobic Digestion. Padahal, tiping fee yang dibayarkan Pemprov DKI selalu meningkat tiap tahunnya.
Tahun ini, Pemprov DKI Jakarta membayar Rp 123.000 per ton sampah ke PT GTJ. Sementara jumlah sampah DKI sekitar 6.000 ton sehari. Maka akan ada puluhan miliar rupiah mengalir ke PT GTJ setiap bulannya. Namun, kinerja yang dihasilkan tidak baik, karena pengelolaan sampah tidak menggunakan teknologi yang seharusnya di dalam kontrak.