JAKARTA, KOMPAS.com — Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ali Mukartono mengatakan bahwa dakwaan mereka terhadap terdakwa Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak prematur.
Ali menyatakan hal tersebut saat menanggapi nota keberatan (eksepsi) tim penasihat hukum Ahok yang menyebut JPU mengabaikan aturan khusus dan langsung menerapkan aturan umum dalam kasus penodaan agama oleh Ahok.
Aturan khusus yang disebut dikesampingkan oleh JPU adalah UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Sebelum menyatakan dakwaan JPU tidak prematur, Ali membacakan kelima pasal dalam UU PNPS tersebut. Dia kemudian menjelaskan bahwa undang-undang tersebut secara garis besar memiliki dua delik.
"Yaitu delik yang diatur dalam Pasal 1 dan delik yang diatur dalam Pasal 4 yang kemudian ketentuan dalam Pasal 4 tersebut ditambahkan ke dalam KUHP sebagai Pasal 156 huruf A KUHP," ujar Ali dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Selasa (20/12/2016).
Ali menuturkan, kedua delik tersebut diterapkan dengan prosedur yang berbeda. Untuk Pasal 1, penerapannya harus memenuhi syarat pada Pasal 2 dan Pasal 3. Sementara untuk Pasal 4 tidak perlu.
"Dengan demikian, delik dalam Pasal 1 merupakan delik bersyarat dan Pasal 4 tidak mensyaratkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 sehingga Pasal 4 merupakan delik tidak bersyarat," kata dia. (Baca: Jaksa: Pendapat Ahok soal Turunnya Surat Al Maidah ayat 51 Tidak Dapat Diverifikasi)
Ali menuturkan, Ahok didakwa dengan Pasal 156 Ayat 1 KUHP yang identik dengan Pasal 4 UU PNPS. Oleh karena itu, tidak perlu penerapan prosedur Pasal 2 dan Pasal 3 untuk mendakwa Ahok menodakan agama.
"Sehingga, pasal yang didakwakan bukan merupakan dakwaan yang prematur," ucap Ali.
Ahok telah didakwa dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP karena diduga menodakan agama.