KOMPAS.com — "GUE udah pegel ngeliat banjir yang kagak surut-surut," ujar Sopiah (54) dengan nada nelangsa sambil mengamati luapan Kali Ciliwung yang merendam rumahnya di Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis (6/2/2014). Sudah 29 tahun, seusia anaknya yang dewasa, perempuan ini tinggal di bantaran Kali Ciliwung, Kampung Pulo, dan baru kali ini dia mengalami bencana banjir berkepanjangan.
Sudah tiga minggu 7.000 warga Kampung Pulo bertahan di sejumlah tempat pengungsian. Jumlah itu belum ditambah dengan warga yang bertahan di rumah masing-masing, emperan toko, dan rumah kerabat. Total ada 18.000 warga Kampung Pulo yang rumahnya terendam.
Menurut Sopiah, banjir kali ini merupakan yang terlama yang pernah dia alami. Banjir pada 2007 memang lebih besar hingga merendam kawasan Pasar Jatinegara, tetapi hanya terjadi sekali. Sekarang, setidaknya tiga kali Ciliwung meluap sampai Jalan Jatinegara sehingga seluruh permukiman Kampung Pulo terendam.
Sopiah pasrah jika pemerintah merelokasinya ke rumah susun saat ini juga. Hanya, menurut ibu tiga anak ini, tempat relokasi harus tetap sesuai dengan sosialisasi yang telah disampaikan pemerintah kepada warga bahwa warga Kampung Pulo direlokasi ke rusun yang dibangun di eks Kantor Dinas Pekerjaan Umum di Jalan Jatinegara Barat.
Sopiah menolak dipindah ke tempat lain karena lokasi yang dijanjikan pemerintah jauh dari tempat tinggalnya sekarang dan Pasar Jatinegara. Harap maklum, di situlah suami Sopiah, Kusnadi (55), selama ini berjualan barang rongsokan.
"Suami hanya jalan kaki dari rumah ke pasar. Lebih hemat karena penghasilan hanya Rp 50.000 sehari, cukup untuk makan kami. Kalau dipindah terlalu jauh, uangnya habis untuk ongkos angkutan," tuturnya.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI menawarkan relokasi di Rusun Komaruddin di Cakung, tetapi warga menolak.
Alasan yang sama disampaikan warga lainnya, Ipit (61). Ibu lima anak ini pun sangat ingin direlokasi karena sudah lelah menghadapi banjir. Dia ingin tempat relokasi itu tetap berada di dekat Kampung Pulo.
Tinggal di Kampung Pulo, Ipit cukup berjalan kaki menuju tempatnya bekerja sebagai pengasuh bayi di Kampung Melayu. Dengan berjalan kaki, dia bisa menghemat upah yang hanya Rp 20.000 sehari.
Tempat pengungsian terdekat di kantor Sudin Kesehatan Jakarta Timur kini padat pengungsi. Ipit pernah mengungsi di GOR di Jalan Otista, tetapi malah tekor karena setiap hari harus keluar uang sedikitnya Rp 6.000 ke tempat kerja.
Setiap pagi dari rumahnya, Ipit berenang menembus banjir menuju tempatnya bekerja. "Capek sekali, sampai engap-engapan setiap kali habis ngoyor (berenang) di banjir. Tapi, bagaimana lagi, entar malah tidak makan," kata Ipit.
Ipit hanya dibantu oleh dua anaknya yang bekerja. Tiga anaknya yang lain masih menganggur. Anaknya yang bekerja pun bernasib sama seperti Ipit, hanya buruh harian di Pasar Jatinegara dengan upah Rp 40.000 per hari.
Tak ada kemajuan
Rencana relokasi warga Kampung Pulo belum juga mengalami kemajuan. Pemerintah Kota Jakarta Timur sudah empat kali melakukan sosialisasi, tetapi belum juga bisa beranjak ke langkah selanjutnya, seperti pengukuran tanah dan bangunan sebagai perhitungan ganti rugi.
Itu terjadi karena batas areal untuk normalisasi Kali Ciliwung belum juga ditandatangani Gubernur DKI. Pemprov DKI hanya mampu merelokasi warga untuk pelebaran Kali Ciliwung selebar 30 meter. Sementara Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane menginginkan pelebaran hingga 50 meter.