Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Calo Tilang Siap "Menghadang" di PN Jakarta Selatan

Kompas.com - 07/11/2014, 13:05 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Belasan pria berdiri di pinggir Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Jumat (7/11/2014) pagi. Dengan memegang surat bukti pelanggaran (tilang) berwarna merah muda, mereka memperhatikan setiap pengendara kendaraan bermotor yang melintas.

Saat ada calon pelanggan yang membawa kendaraannya dalam keadaan pelan di sisi kiri jalan, tangan mereka yang memegang surat tilang langsung melambai kecil sebagai tanda penawaran jasa.

Negosiasi langsung dilakukan di pinggir jalan secara terbuka. Tak ada yang ditutup-tutupi seakan jasa calo tilang ini adalah sesuatu yang legal untuk dilakukan.

Kompas.com mencoba menghampiri seorang calo tilang, sebut saja namanya Ali. Masih sekitar 500 meter jaraknya dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Ali, sebagaimana calo tilang lainnya, sudah bersiaga untuk mencari "sesuap nasi".

"SIM atau STNK, Bos?" tanya Ali tanpa basa-basi.

Kesalahan yang dilanggar pengguna lalu lintas serta pasal yang tertulis dalam surat tilang akan menjadi patokan bagi calo untuk menentukan harga awal.

Dalam surat tilang yang ditunjukkan Kompas.com kepada Ali, tertulis Pasal 287 ayat 1 (menerobos jalur transjakarta) dan Pasal 281 (tidak memiliki SIM/SIM kedaluwarsa).

"Wah ini dua pasal kenanya gede, Bos, bisa sampai Rp 450.000," ujar dia.

Tawar-menawar dilakukan sampai harga Rp 350.000, dengan waktu mengurus selama 30 menit. Namun, tawar-menawar itu tidak membuahkan kesepakatan apa pun.

Semakin dekat ke lokasi PN Jaksel, calo tilang semakin banyak terlihat. Puncaknya, mereka berkumpul di bagian depan dan samping PN Jaksel. Kebanyakan menyambi sebagai tukang parkir.

Setiap kendaraan bermotor yang hendak masuk ke dalam Gedung PN Jaksel langsung dihadang dan dialihkan ke parkiran di bagian luar. "Parkirnya di luar saja Bos, enggak bisa di dalam," ujar Mahmudin, salah satu calo tilang, yang merangkap tukang parkir.

Waktu yang ditawarkan di sini untuk mengurus segala prosesnya jauh lebih singkat, hanya 10 menit. Namun, harga awal yang ditawarkan lebih mahal, yakni Rp 500.000. "Kita punya orang dalam Bos, dibantuin aja. Paling lama 10 menit langsung beres," ujarnya.

"Kalau ngurus sendiri ngantri Bos, hari ini yang sidang 4.000 orang," tambah Mahmudin mencoba meyakinkan.

Sama dengan Ali, negosiasi dengan Mahmudin juga tidak membuahkan kesepakatan apa pun. Meskipun Kompas.com sudah menolak untuk menggunakan jasanya, Mahmudin tetap berupaya bernegosiasi dan mengikuti hingga ke dalam pelataran PN Jaksel. Dia menawarkan harga akhir Rp 300.000 yang juga tak membuahkan kesepakatan.

Proses persidangan

Di dalam Pengadilan Negeri Jaksel, sudah terlihat puluhan orang memadati satu sisi gedung untuk mengikuti persidangan. Pengendara yang hendak mengambil SIM atau STNK-nya harus berbaris terlebih dahulu di depan sebuah loket untuk mengambil nomor antrean.

Setelah itu, mereka tinggal menunggu dipanggil untuk masuk ke ruang sidang. Untuk menghemat waktu, majelis hakim langsung menyidang lima orang sekaligus yang duduk berjajar di hadapannya.

Majelis hakim lalu membacakan vonis berupa kesalahan dan pasal yang dilanggar serta jumlah denda tilang yang harus dibayar. Selanjutnya tinggal mengantre di loket untuk membayar denda sesuai yang diputuskan. SIM atau STNK pun bisa didapatkan kembali.

Khawatir denda maksimal

Salah satu alasan pengendara akhirnya memutuskan "damai" dengan aparat kepolisian atau menggunakan jasa calo adalah harga denda maksimal yang begitu tinggi, tidak punya waktu ke pengadilan, dan harus mengantre menjadi alasan lainnya.

Setidaknya hal tersebut dikhawatirkan Harianto (37), salah satu dari sekian banyak orang yang mengikuti sidang di PN Jaksel hari ini. Sebelum mengikuti dan mengetahui sendiri proses sidang tilang, Harianto mengaku kerap membayar "uang damai" dengan polisi yang menilangnya.

Jika sedang apes karena polisi tak mau diajak "berdamai", dia akhirnya menggunakan jasa calo tilang. "Saya kira dulu dendanya benar-benar bisa sampai Rp 500.000 kalau ikut (proses) di pengadilan. Belum lagi ngurusnya ribet," ujar dia.

Namun, suatu hari, warga Pancoran, Jakarta Selatan, ini akhirnya mencoba untuk mengikuti sidang sesuai prosedur yang berlaku. Dia terkejut karena denda yang harus dibayar jauh dari batas denda maksimal.

"Waktu itu (kena tilang) karena lupa nyalain lampu. Padahal siang, waktu itu memang banyak yang belum tahu karena baru sosialisasi. Polisinya mengancam kalau denda maksimalnya Rp 500.000," kata Harianto.

Namun, ternyata, setelah mengikuti sidang, Harianto hanya diwajibkan membayar denda Rp 50.000 oleh majelis hakim. Proses persidangan pun tidak memakan waktu yang cukup lama, hanya sekitar 30 menit.

"Mendingan bayar denda sesuai prosedur saja, uangnya untuk negara, daripada untuk polisi atau calo," ucap Harianto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Heru Budi Diminta Tegur Wali Kota hingga Lurah karena RTH Tubagus Angke jadi Tempat Prostitusi

Heru Budi Diminta Tegur Wali Kota hingga Lurah karena RTH Tubagus Angke jadi Tempat Prostitusi

Megapolitan
Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Keberatan Ditertibkan, Juru Parkir Minimarket: Cari Kerjaan Kan Susah...

Megapolitan
BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

BPSDMP Kemenhub Bentuk Tim Investigasi Usut Kasus Tewasnya Taruna STIP

Megapolitan
Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Megapolitan
Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Mahasiswanya Tewas Dianiaya Senior, Ketua STIP: Tak Ada Perpeloncoan, Murni Antar Pribadi

Mahasiswanya Tewas Dianiaya Senior, Ketua STIP: Tak Ada Perpeloncoan, Murni Antar Pribadi

Megapolitan
Fakta-fakta Kasus Pembunuhan Mayat Dalam Koper di Cikarang

Fakta-fakta Kasus Pembunuhan Mayat Dalam Koper di Cikarang

Megapolitan
Bagaimana jika Rumah Potong Belum Bersertifikat Halal pada Oktober 2024? Ini Kata Mendag Zulhas

Bagaimana jika Rumah Potong Belum Bersertifikat Halal pada Oktober 2024? Ini Kata Mendag Zulhas

Megapolitan
Tewasnya Mahasiswa STIP di Tangan Senior, Korban Dipukul 5 Kali di Bagian Ulu Hati hingga Terkapar

Tewasnya Mahasiswa STIP di Tangan Senior, Korban Dipukul 5 Kali di Bagian Ulu Hati hingga Terkapar

Megapolitan
Fenomena Suhu Panas, Pemerintah Impor 3,6 Juta Ton Beras

Fenomena Suhu Panas, Pemerintah Impor 3,6 Juta Ton Beras

Megapolitan
Pengemudi HR-V yang Tabrak Bikun UI Patah Kaki dan Luka di Pipi

Pengemudi HR-V yang Tabrak Bikun UI Patah Kaki dan Luka di Pipi

Megapolitan
Bakal Cek Tabung Gas, Zulhas: Benar Enggak Isinya 3 Kilogram?

Bakal Cek Tabung Gas, Zulhas: Benar Enggak Isinya 3 Kilogram?

Megapolitan
Mendag Tegaskan Rumah Potong Ayam Harus Bersertifikat Halal Oktober 2024, Tidak Ada Tawar-tawar Lagi

Mendag Tegaskan Rumah Potong Ayam Harus Bersertifikat Halal Oktober 2024, Tidak Ada Tawar-tawar Lagi

Megapolitan
Mobil Mahasiswa Tabrak Bus Kuning UI, Saksi: Penumpangnya 3, Cowok Semua

Mobil Mahasiswa Tabrak Bus Kuning UI, Saksi: Penumpangnya 3, Cowok Semua

Megapolitan
Kebengisan Pembunuh Wanita Dalam Koper: Setubuhi dan Habisi Korban, lalu Curi Uang Kantor

Kebengisan Pembunuh Wanita Dalam Koper: Setubuhi dan Habisi Korban, lalu Curi Uang Kantor

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com