Melihat catatan tersebut, untuk urusan buang hajat, perilaku masyarakat Indonesia adalah paling buruk dibanding negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang tidak masuk dalam 10 besar.
Dari angka 54 juta itu, satu juta di antaranya adalah warga Jakarta. Di Jakarta yang gemerlap dengan gedung-gedung tinggi dan roda ekonomi yang berputar cepat, masih ada yang buang hajat sembarangan.
Kerugian Rp 56 triliun
Persoalan “pergi ke belakang” yang tidak sehat ini urusannya panjang karena berdampak pada kerugian ekonomi. Menurut kajian Bank Dunia pada 2006 mengenai air dan sanitasi, kerugian yang dialami Indonesia karena sanitasi yang buruk mencapai Rp 56 triliun. Angka itu setara dengan 2,3 persen produk domestik bruto (PDB).
Menurut studi itu, sekitar 100 juta orang di Indonesia belum mendapat akses pelayanan sanitasi dasar yang sehat dan layak. Jumlah itu termasuk mereka yang buang air besar (BAB) secara sembarangan, seperti di sungai, ladang, kolam, atau di jamban yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Jamban yang tidak memenuhi syarat adalah kotoran di bak penampungan berpotensi merembes sehingga mencemari sumber air tanah atau sungai. BAB sembarangan berdampak pada pencemaran terhadap sumber air tanah atau sungai oleh bakteri E-coli.
Jika air yang sudah tercemar E-coli dikonsumsi manusia, maka akan menyebabkan penyakit diare. Penyebaran E-coli inilah yang efek berantainya sampai memunculkan angka Rp 56 triliun di Indonesia. (Baca: Jangan Anggap Enteng Urusan ke Belakang)
Perilaku masyarakat
Akar dari masalah sanitasi di Indonesia adalah perilaku masyarakat. Presiden Joko Widodo yang menginisiasi program kampung deret saat menjadi Gubernur DKI Jakarta mengatakan tidak mudah mengubah perilaku masyarakat. Program kampung deret adalah cara Jokowi memperbaiki sanitasi masyarakat perkotaan secara komprehensif.
"Kampung deret itu kan kampungnya diperbaiki, rumahnya diperbaiki, drainase diperbaiki, ada communal septic tank di situ, hijauan di situ. Memang yang paling sulit adalah mengubah budaya masyarakat yang biasanya buang sampah sembarangan, BAB sembarangan, menaruh jemuran sembarangan, harus diubah. Tapi kan mengedukasi di situ yang paling sulit," kata Jokowi seperti dikutip Berita Jakarta.
Program kampung deret tak lantas selesai dengan berdirinya rumah-rumah baru. Pekerjaan rumah yang paling besar adalah mengubah perilaku mereka yang tinggal di sana.
Saat mengunjungi pernikahan warga di kampung deret di Pejompongan, beberapa waktu lalu, Basuki mengeluhkan sikap warga yang terbiasa hidup kotor. Di kampung yang cat tembok rumah warganya masih baru itu, ia mendapati saluran air yang terhambat sampah warga. (Baca: Kata Ahok, Warga Kampung Deret Pejompongan Terbiasa Hidup Kotor)
Yang kencing sembarangan
Oleh karena itu, revolusi mental yang digaungkan Jokowi tidak melulu dimaknai terkait urusan mental koruptif, kejujuran, kerja keras, atau metode pendidikan yang salah kaprah di negeri ini. Urusan “buang hajat dengan benar”, toilet yang bersih, dan perilaku hidup yang higienis, juga patut dimaknai sebagai bagian dari revolusi mental.
Soal perilaku masyarakat ini, Zuhruf, seorang siswa SD berusia 10 tahun yang hadir dalam pertemuan dengan Basuki di Balaikota, mengajukan pertanyaan, "Apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mengantisipasi warga yang gemar buang air sembarangan?"
Mendapat pertanyaan ini, Basuki kembali tertawa. Basuki lalu menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi kawasan Kota Tua di Jakarta Barat.
"Saya juga bingung kenapa orang-orang banyak yang berani sembarangan kencing sembarangan di Gedung Kota Tua, baunya pesing banget. Nanti kami pasang tulisan, 'Yang kencing sembarangan di sini anjing', atau 'Yang buang sampah sembarangan monyet'," kata Basuki tertawa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.