”Zaman dulu banyak penggemar musik membuang piringan hitam karena dianggap sudah ketinggalan zaman. Sekeping piringan hitam yang dua puluh tahun lalu dijual Rp 200, sekarang harganya bisa jutaan,” kata Ridwan.
Di tengah era musik digital dewasa ini, piringan hitam memang kembali dicari orang. Sejumlah musisi bahkan kembali merilis album baru mereka dalam format piringan hitam, seperti Mocca dan The Upstairs.
Menurut Abhimata alias Abhi, manajer toko di kios Satya Garment, kualitas musik yang terekam dalam kaset dan piringan hitam lebih baik daripada dalam bentuk digital.
”Kalau mendengarkan musik dari CD atau copy dari internet, suara musik ditekan sedemikian rupa agar ukuran file-nya tidak besar. Itu membuat kualitas menurun,” katanya.
Piringan hitam yang dijual di kios Satya Garment kebanyakan dipesan langsung dari Amerika Serikat. Kios ini memajang sekitar 100 piringan hitam, antara lain dari kelompok musik Arctic Monkeys, Oasis, dan Radiohead. Kios ini juga menjual beragam jenis kaus bertema musik.
Menurut Abhi, para pedagang di Blok M Square rata-rata memiliki pelanggan tetap. Meski harga piringan hitam di tiap kios berbeda, para pelanggan tak pernah membanding-bandingkan harga. Sejumlah pedagang juga menjual turntable atau alat pemutar piringan hitam yang mulai langka itu.
Saat ini ada 15 pedagang kaset dan piringan hitam di Blok M Square. Mereka berjualan di antara pedagang buku, pakaian, dan lukisan.
Mereka juga tidak sekadar berdagang. Pada 20-21 Desember 2014, para pedagang itu menggelar pentas musik ”Terminal Musik Selatan” di pelataran parkir Blok M Square yang dimeriahkan puluhan kelompok musik. (Denty Piawai Nastitie)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.