Normalisasi dimaknai dengan lebih dominannya pendekatan teknikal, terutama menghadapi ancaman banjir yang "hanya" terjadi 2-3 bulan dalam setahun.
"Penanggulan tepi sungai menjadi program utama. Namun, relasi warga dan sungai makin jauh, bahkan secara visual. Dalam jangka panjang, apabila tidak dilanjutkan dengan program penataan ruang tepian air yang menghubungkan warga dengan sungai, memori warga Jakarta tentang sungai akan makin terkubur dan tradisi kota tepian air tak tumbuh," tuturnya.
Kritik pendekatan "normalisasi" bukan hanya pada penanganan 13 sungai lama, melainkan juga proyek Kanal Timur yang baru beberapa tahun ini selesai dibangun.
Proyek-proyek normalisasi lebih menyerupai pembangunan drainase besar menuju ke laut ketimbang membangun ruang tepian air baru di Jakarta.
Penataan area air dan tepian air di Jakarta lebih ideal jika menjadi jalan mewujudkan semangat Jakarta Baru yang dulu diusung Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama saat berduet maju memimpin Ibu Kota.
Semangat, yang diharapkan terus dipegang Basuki saat menggantikan Jokowi, diyakini lebih memihak dan adil bagi warga kebanyakan.
Bukan hanya pengembang yang mendapatkan keuntungan akibat peningkatan nilai lahan dari penataan itu, kata Suryono, pemerintah Jakarta diharapkan membuka kesempatan yang sama bagi warga dan komunitas yang tinggal di sepanjang tepian air.
Diperlukan kearifan untuk membangun kota tidak sekadar berdasar perencanaan ruang, tetapi juga keadilan ruang.
"Program konsolidasi lahan dan insentif intensitas bangunan untuk permukiman tepian air yang terdampak langsung proyek perlu difasilitasi dan didukung," kata Suryono.
Prioritas amankan kota
Basuki dan Mudjiadi menolak jika normalisasi dinilai tidak memanusiakan manusia.
"Kalau kita pindah mereka (warga bantaran) ke tempat tidak layak, itu melanggar HAM. Tetapi, ini disediakan rumah susun sederhana sewa. Anak-anaknya diberi Kartu Jakarta Pintar, angkutan umum gratis," kata Basuki.