Megawati Soekarnoputri bukanlah sosok yang artikulatif. Kalimat-kalimatnya yang kerap kita dengar di forum-forum terbuka bukanlah kata-kata yang terstruktur seperti Susilo Bambang Yudhoyono. Kadang kalimat-kalimat Mega malah terasa seperti kata yang terpenggal-penggal.
Ia memang bukan politisi yang pandai berkata-kata. Namun, sejumlah dinamika politik di negeri ini sesungguhnya amat dipengaruhi oleh pilihan-pilihan politiknya. Sejumlah orang yang mengenalnya dari dekat mengatakan, Megawati memiliki intuisi politik yang tajam.
Ketajaman intuisinya barangkali bisa jadi karena warisan genetis dari Soekarno, ayahnya. Namun, tak bisa dipungkiri, kerasnya perjalanan politik Mega menguatkan ketajaman intuitifnya sebagai seorang politisi. Sebagai politisi, ia ditempa oleh kerasnya represi rezim orde baru. Mega lah yang membangun PDI-P dari nol dengan segala jatuh bangunnya.
Almarhum Frans Seda, politisi senior PDI-P, dalam sebuah kesempatan pernah berkata, seringkali logika dan analisis fakta-fakta rasional harus bertekuk di bawah intuisi politik Mega.
“Dia (Mega) punya intuisi tajam. Sering kita berpikir, secara logika, menganalisa fakta-fakta, menyodorkan bukti-bukti, tapi tetap saja belum pas. Di saat itulah Mega bertindak berdasarkan intuisinya, yang oleh orang-orang lain tidak terpikirkan sebelumnya,” kata Frans.
Ganjar Pranowo, politisi PDI-P yang kini menjadi Gubernur Jawa Tengah, pun mengakui bahwa perjalanan karir politiknya hingga menduduki kursi gubernur adalah buah dari intuisi Mega yang memintanya maju di last minute.
Kala itu, pasangan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Jawa Tengah selang empat jam sebelum pendaftaran tutup pada pukul 24.00.
Pilihan Mega atas Ganjar bukan pilihan yang populer. Pasalnya, menurut survei Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LKSP), anak perusahaan Lingkaran Survei Indonesia yang kesohor itu, elektabilitas Ganjar hanya 8,4 persen, jauh di bawah calon incumbent, Bibit Waluyo, yang mencapai 39 persen.
Nyatanya Megawati tidak salah. Ganjar menang dengan perolehan suara 48,82 persen mengunguli Bibit di posisi kedua dengan perolehan suara 30,2 persen. Kemenangan yang mengejutkan. Ganjar pun memimpin Jawa Tengah periode 2013-2018.
Jokowi-Basuki
Sebelumnya, pada 2012, intuisi Megawati juga menuntunnya pada sosok Joko Widodo atau Jokowi, Wali Kota Solo. Megawati meminta Jokowi hijrah ke Jakarta untuk maju dalam Pilkada berhadapan dengan calon incumbent Fauzi Bowo atu Foke yang menggandeng Nachrowi Ramli.
Bukan pilihan yang mudah mengingat tingginya popularitas dan elektabilitas Foke. Survei yang dilakukan Cyrusnetwork pada Desember 2011, elektabilitas Jokowi hanya 6 persen, sementara Foke berada di urutan teratas dengan 25,3 persen. Sementara, survei PDI-P dari Indobarometer awal Februari 2012 mendapatkan, popularitas Jokowi berada di urutan ketiga setelah Foke dan Tantowi Yahya.
Keputusan Mega memilih Jokowi sempat dipertanyakan Sekjen PDI-P kala itu, Tjahjo Kumolo. “Wis meneng (sudah, diam saja). Siapkan semuanya,” kata Mega menjawab keraguan Tjahjo.
Begitulah Mega. Ia tidak artikulatif. Kata-katanya instruktif. Mungkin Mega memang punya kesulitan mengartikulasikan intuisinya. Jika sudah memilih, tak ada yang bisa menggoyahkannya, termasuk suaminya, almarhum Taufi Kiemas. Mega bahkan sempat bersitegang dengan Taufik yang condong mendukung Foke.
Yang lebih membingungkan lagi, sosok pendamping Jokowi pun jauh dari populer: Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, mantan Bupati Belitung Timur. Nyaris tak ada orang Jakarta yang kenal Basuki saat itu. Nama Ahok disodorkan Partai Gerindra.
Ahok bercerita, Jokowi sengaja menyandingkan nama Deddy dan Ahok kepada Megawati dengan tujuan Mega akan memilih Deddy yang lebih populer untuk menjadi pendamping Jokowi. Intuisi Mega berkata lain. Ia tidak tertarik dengan Deddy.
"Deddy Mizwar sama Ahok, masa Bu Megawati pilih Ahok sih, kan enggak mungkin. Namun, enggak tahu, pukul 01.00 dini hari, enggak tahu minum obat apa, saya enggak tahu Bu Mega tiba-tiba, pokoknya, diputusin saya (yang jadi calon wagub mendampingi Jokowi). Pak Jokowi pun kaget karena saya yang dipilih Bu Mega. Orang, celana yang disiapkan untuk kampanye juga bukan ukuran saya," cerita Basuki.
Intuisi Mega terbukti. Pilkada DKI Jakarta 2012 rasanya menjadi Pilkada yang paling gempita. Butuh dua putaran untuk menyelesaikannya. Di putaran kedua, Jokowi-Basuki menang mutlak 53,82 persen mengalahkan pasangan Foke-Nachrowi Ramli yang meraih 46,18 persen.
Pilpres 2014
Terakhir, intuisi Megawati kembali menentukan arah politik Indonesia ketika pada Jumat pahing, 14 Maret 2014, ia menetapkan secara resmi Jokowi menjadi calon presiden dari PDI-P.
Lagi-lagi ini bukan perkara mudah. Elektabilitas Jokowi memang melesat saat itu. Namun, ada banyak keraguan tentang sosoknya. Jokowi dianggap melompat terlalu jauh. Belum rampung tugasnya di Jakarta, politisi hijau dari kampung ini diminta untuk bertarung di pilpres.
Kalaupun menang, risikonya besar, menjadi nakhoda negeri ini. Megawati tidak sedang bertaruh untuk partainya, tapi untuk Indonesia. Nasib 250 juta masyarakat Indonesia berada di tangan Mega.
Cerita setelah pilihan itu kita mengalaminya. Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla mengalahkan Prabowo yang menggandeng Hatta Rajasa. Ini adalah pilpres yang paling melelahkan sepanjang sejarah Indonesia.
Hari-hari setelah pilpres pun melelahkan. Ada riak politik yang amat keras di tahun pertama pemerintahan Jokowi-Kalla. Sejumlah politisi PDI-P bahkan berhadap-hadapan secara terbuka dengan Jokowi terkait penyusunan kabinet. Meski suhu politik begitu panas, Mega tetap adem, setidaknya begitu yang terlihat di publik. Ketika semua orang ribut, ia tetap diam. Padahal, salah satu biang keributan itu adalah karena pilihan politiknya atas Jokowi.
Ahok atau bukan Ahok
Kini, intuisi Mega kembali diuji dalam Pilpres DKI Jakarta 2017. Perjalanan memang masih panjang. Pendaftaran bakal calon gubernur dan wakil gubernur baru akan dilakukan sekitar bulan September. Semua menunggu Mega bersuara siapa yang bakal dicalonkan partai moncong putih kali ini. Ia masih menjadi faktor determinan.
Situasi kali inipun tidak mudah. Incumbent Basuki Tjahaja Purna yang "lahir" dari intuisi Mega di tahun 2012 begitu kukuh elektabilitasnya. Masalahnya bukan itu. Soal elektabilitas, sejarah membuktikan, intuisi Mega mampu menaklukkannya.
Pasalnya, ada semacam gengsi yang berbenturan dengan harapan di internal partai dan seperti enggan didamaikan terkait sosok Ahok. Jauh-jauh hari Ahok sudah telah menyatakan diri maju pilkada dari jalur independen bersama "Teman Ahok", relawan pendukungnya. Ahok maju berpasangan dengan Heru Budi Hartono, birokrat Pemprov DKI Jakarta yang disebutnya bersih.
Bagi kelompok "gengsi" ini, jika Ahok ingin mendapat dukungan maka ia harus mengikuti mekanisme partai. Ia harus tunduk pada aturan partai dengan mendaftarkan dirinya dan mengikuti fit and proper test. PDI-P tidak mau diatur-atur Ahok.
"PDI-P sudah inves dan pasang badan banyak ke Ahok. Kamu lihat Ahok melakukan timbal balik enggak. Bukan PDI-P yang harus ditekan. We did more than enough ke Ahok," kata politisi PDI-P Eva Kusuma Sundari.
Ahok yang sepanjang pemerintahannya "beringas" terhadap politisi di DPRD DKI Jakarta tampaknya enggan untuk sowan dan sungkem serta memohon-mohon pada partai politik. Ahok seolah tidak mau didikte oleh partai.
Terlebih, sudah ada "Teman Ahok" yang sangat serius mengurus pencalonannya di jalur independen. Ia juga sadar elektabilitasnya yang tinggi adalah kekuatan untuk melawan oligarki partai.
Mungkin Ahok tak mau hal yang menimpa Jokowi terjadi pada dirinya. Jokowi kerap disebut sebagai petugas partai. Ada kepentingan partai pengusung yang harus dikompromikan.
Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPD PDI-P DKI Jakarta Gembong Warsono menegaskan, dukungan partai hanya diberikan kepada bakal calon yang mendaftarkan diri.
"Kalau PDI-P meminang Ahok, saya katakan pasti tidak. Jadi, Ahok bisa diusung PDI-P ketika Ahok mendaftar ke PDI-P," kata Gembong.
Sementara, kelompok kedua bersikap lebih lunak. Mereka seolah memberi "kedipan mata" untuk Ahok. Politisi PDI-P di kelompok ini nampak berharap dapat mengusung Ahok. Pilihan yang sangat rasional mengingat tingginya elektabilitas Ahok dan tentu saja faktor historis di tahun 2012.
Meski Ahok sudah menyatakan maju di jalur independen, para politisi di kelompok ini seolah masih memberi harapan bawah PDI-P masih mungkin mengusung Ahok. Anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-P Charles Honoris menegaskan selama ini Ahok menjadi salah satu calon yang selalu diperhitungkan.
Ketua DPP Bidang Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan PDI-P Djarot Saiful Hidayat mengemukakan, ada tiga kemungkinan bagi PDI-P mengusung calonnya.
"Pintu pertama lewat DPD, pintu kedua melalui DPP, dan pintu ketiga hak prerogratif yang dimiliki Ketua Umum," kata Jarot.
Megawati sebagai Ketua Umum partai nampaknya juga memberikan "kedipan mata". Ahok menuturkan, ia sempat bertemu dengan Megawati beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan itu, Mega menyarankan agar ia tetap berpasangan dangan Djarot.
"Bu Mega enggak pernah maksa. Bu Mega cuma bilang, 'Kalian itu sudah baik berdua, gitu lho'," ujar Ahok menirukan Mega.
Saran Mega tidak mudah bagi Ahok. Kalau mengikuti saran Mega, itu artinya Ahok harus melepas Heru dan Teman Ahok. Lebih dari itu, ada "gengsi" Ahok yang juga dipertaruhkan.
Jalan masih panjang. Waktu pendaftaran calon pun masih lama. Melalui jalur resmi partai atau tidak, PDI-P memang tergiur pada sosok Ahok. Yang menghalangi adalah gengsi keduanya. Intuisi Megawati lah yang akan menjawabnya nanti.
Akankah intuisi Mega kembali teruji benar? Kita tunggu saja.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.