JAKARTA, KOMPAS.com - Pembebasan lahan menjadi kendala terbesar pembangunan mass rapid transit (MRT). Sejak 2013, pembebasan lahan tak kunjung rampung.
PT MRT Jakarta bahkan sempat hampir membatalkan konstruksi stasiun di Jalan Haji Nawi dan Cipete. Struktur jalan layang MRT yang membentang dari Jalan Sisingamangaraja hingga Lebak Bulus memang lebih rumit daripada struktur bawah tanahnya.
Hal itu dikarenakan struktur layang membutuhkan lebih banyak lahan warga untuk dibebaskan. Tak kurang dari 132 bidang masih menunggu kepastian pembebasan lahan.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak berbohong ketika mengklaim semua warga bersedia menjual lahannya. Hanya saja, prosesnya dianggap belum jelas.
Sejumlah pemilik lahan di lokasi yang disebut akan menjadi stasiun mengaku lahannya belum pernah diukur. Bahkan ada yang sudah mengikuti sosialisasi pembebasan lahan, namun ketika pendataan di akhir, nama dan bidangnya tidak tercantum.
"Dari pemerintahnya enggak jelas juga. Kami enggak pernah dikasih tahu kejelasan apakah lahan kami akan kena, kalau kena berapa, itu belum jelas sampai sekarang," kata Jaka, seorang pegawai Nivana Motor, di Jalan Fatmawati, Senin (17/10/2016).
Tiga kelurahan yang ikut mengurusi berkas pembebasan lahan di ruas Fatmawati yaitu Kelurahan Gandaria Selatan, Kelurahan Pulo, dan Kelurahan Cipete Selatan, membantah tudingan Ahok soal adanya pejabat yang mempersulit.
Mereka mengakui kesepakatan antara warga memang berjalan alot selama ini. Keluhan yang para Lurah terima antara lain soal ketidakjelasan trase dan harga.
"Salah satu masalah yang sekian tahun dihadapi itu ketidaksinkronan pengukuran luas bidang. Itu maslah teknis yang sudah kami tampung dan informasikan di tingkat kota ke P2T-nya," kata Lurah Pulo Gita Puspita.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengumpulkan warga yang lahannya terkena dampak proyek pembangunan jalur layang mass rapid transit (MRT) di sepanjang Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, di Balai Kota, Jumat (14/9/2016).
Ahok menduga upaya mempersulit warga oleh para pejabat seperti yang dituduhkannya adalah dengan berupaya meminta uang kompensasi dari warga yang sebenarnya sudah bersedia lahannya dibebaskan.
Kompensasi yang diminta terkait Garis Sepadan Bangunan (GSB). Terkait hal ini, Gita menyebut masalahnya ada pada perbedaan persepsi. (Baca: Pembebasan Lahan MRT Belum Jelas)
"Kan ada pergub untuk kompensasi bagi masyarakat yang kena pembebasan MRT terkait Koefisien Lantai Bangunan dan GSB. Tapi waktu dulu mereka ngurus IMB di Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kecamatan, dasar hukumnya dispute. Penafsiran soal KLB dan GSB ini yang harus disatukan persepsinya," kata Gita.
Pembebasan lahan sendiri sudah dianggarkan oleh Dinas Bina Marga dan Dinas Perhubungan dan Transportasi. Dinas Bina Marga melalui APBD 2016 dan APBD Perubahannya, memegang Rp 250 miliar untuk membebaskan 102 bidang.
Anggaran ini ditambah Rp 475 miliar dari sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) APBD 2015 yang baru terpakai Rp 125 miliar.