JAKARTA, KOMPAS.com - Uji coba perluasan larangan sepeda motor di Jakarta dijadwalkan mulai dilaksanakan pada 12 September 2017.
Seperti yang sudah ditetapkan, uji coba perluasan pelarangan sepeda motor ini dilakukan dari Bundaran HI hingga Bundaran Senayan, yang artinya mencakup keseluruhan Jalan Jenderal Sudirman.
Adanya rencana perluasan pelarangan sepeda motor tersebut ditentang sejumlah pihak, terutama komunitas pengguna sepeda motor.
Mereka menilai, pelarangan sepeda motor tidak adil. Apalagi, angkutan umum yang tersedia di Ibu Kota menurut mereka belum memadai.
Karena alasan itulah mereka belum berpindah dari menggunakan motor ke angkutan umum. Kompas.com sempat mewawancarai sejumlah pengguna motor yang tinggal di sepanjang jalan dari Pasar Minggu, Jakara Selatan hingga Margonda, Depok.
(Baca juga: Angin Segar bagi Mereka yang Menolak Perluasan Area Pelarangan Sepeda Motor)
Ini merupakan kawasan yang dilayani kereta rel listrik (KRL) commuter line. Untuk ukuran Jabodetabek, KRL commuter line merupakan salah satu moda transportasi umum favorit.
Selain tarifnya murah, waktu tempuh commuter line lebih cepat dibandingkan bus. Namun, berdasarkan hasil wawancara pengguna motor pada Senin (4/9/2017), tak ditemukan adanya pengguna motor yang ingin beralih ke KRL.
Motor dinilai lebih murah
Mereka rata-rata lebih memilih naik motor ketimbang KRL karena malas berdesak-desakan atau total pengeluaran yang lebih mahal ketimbang harga bahan bakar.
Warga yang tinggal di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Akbar (30), tak mau tersiksa karena harus berdesak-desakan di KRL.
"Ada kabar dari teman-teman yang naik KRL, mereka tersiksa harus berdesakan bahkan sikut-sikutan. Itu yg membuat gue terus naik motor," ujar pria yang berkantor di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat itu.
(Baca juga: DPRD Panggil Kadishub DKI terkait Perluasan Larangan Sepeda Motor)
Memang, pada jam sibuk, atau pada jam warga berangkat dan pergi kerja, KRL kerap padat penumpang.
Namun pada saat bersamaan, jalan raya juga sebenarnya macet. Hal ini pun diakui oleh Akbar.
Bahkan, Akbar menyebut tingkat kemacetan dalam perjalanan dari rumah ke tempat kerjanya semakin parah dalam beberapa bulan terakhir karena adanya pembangunan jembatan layang di kawasan Pancoran.
Namun, kondisi itu tak membuat Akbar mau beralih naik KRL. Ia bahkan menyatakan lebih memilih terkena macet ketimbang harus desak-desakan di dalam KRL.
"Jujur lebih pilih macet. Pertama, meski macet gue bisa atur ritme sendiri dengan motor yang gue gunakan. Kedua, macet itu enggak setiap hari di jalan yang sama. Di saat-saat tertentu meski jam sibuk jalanan itu ada kalanya lengang," kata Akbar.
Warga Lenteng Agung lainnya, Dwi (27), memilih naik motor karena ongkos yang harus dikeluarkannya saat naik KRL lebih mahal.
Saat menggunakan motor, Dwi mengaku mengeluarkan Rp 50.000 untuk bahan bakar dari rumah ke tempat kerja pulang pergi selama lima hari.
Sementara itu, jika naik KRL, Dwi mengaku harus mengeluarkan ongkos Rp 12.000 dalam satu hari.
Ongkos itu masing-masing digunakan untuk ongkos ojek dari rumah ke Stasiun Lenteng Rp 3.000, naik KRL dari Stasiun Lenteng ke Gondangdia Rp 3.000, ongkos balik dari Gondangdia ke Lenteng Rp 3.000, dan ongkos ojek dari Stasiun Lenteng kembali ke rumah Rp 3.000.
Menurut Dwi, ongkos bisa sedikit naik jika dari rumah ke stasiun menggunakan motor. "Karena kalau bawa kendaraan markir di stasiun Rp 8.000," ujar Dwi.
Ia menyatakan akan pindah naik KRL jika parkir di stasiun digratiskan. "Parkir di stasiun gratis. Karena itu kan bukan bisa mengurangi pengeluaran juga," ujar dia.
(Baca juga: Perluasan Larangan Sepeda Motor di Jakarta yang Menuai Kontra...)
Pengguna motor lainnya, Tama (25), menyampaikan hal senada. Warga yang tinggal di Jalan Margonda Depok ini menilaim ongkos yang harus dikeluarkannya untuk naik transportasi umum lebih mahal ketimbang naik motor.
Tama sehari-hari bekerja di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan. Jika naik transportasi umum, ongkos yang harus dikeluarkannya dalam sehari bisa mencapai Rp 13.000.
Ongkos tersebut digunakan untuk biaya naik KRL dari Stasiun Pondok Cina-Stasiun Sudirman pulang pergi Rp 6.000 dan biaya naik transjakarta dari Stasiun Sudirman ke tempat kerja di Semanggi pulang pergi Rp 7.000. "Kalau naik motor lumayan Rp 20.00 bisa buat tiga hari," ujar Tama.
Skema "push and pull"
Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Yoga Adiwinarto berpendapat bahwa untuk bisa membuat warga beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum dibutuhkan skema "pull and push".
Menurut Yoga, pull adalah gerakan untuk menarik orang keluar dari kendaraan pribadi dan berpindah ke angkutan.
Caranya dengan memperbaiki angkutan umum, mengurangi biaya tiket, dan promosi angkutan umum.
Yoga menilai, dalam perkembangannya, berbagai upaya terkait skema pull yang dilakukan pemerintah untuk memindahkan warga Jabodetabek beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum ini tak cukup berhasil.
Atas dasar itu, ia menilai pemerintah perlu melakukan skema push. Dalam skema ini, kata Yoga, warga memang lebih dipaksa untuk segera beralih ke transportasi umum.
"Harus ada faktor pendorong (push) agar orang dipaksa keluar meninggalkan kendaraannya, yaitu melalui skema pembatasan parkir, kenaikan tarif parkir, jalan berbayar (ERP) hingga ke pembatasan ganjil genap dan pembatasan motor tersebut," kata Yoga.
(Baca juga: Fakta: Pembatasan Sepeda Motor Tidak Adil)
Menurut Yoga, adanya rencana perluasan larangan sepeda motor merupakan kesempatan bagus untuk memaksa pengendara motor beralih ke angkutan umum.
"Karena jika tidak dipaksa, maka akan susah. PR pemerintah memang banyak. Namun saya mendukung skema paksa seperti ini yang akhirnya akan mendorong pemerintah bekerja lebih keras lagi," ujar Yoga.
Agar tak terkesan tebang pilih, Yoga menyarankan pemerintah lebih giat membatasi penggunaan mobil setelah perluasan pelarangan sepeda motor diterapkan.
Ia menilai, kebijakan ganjil genap yang diterapkan sejauh ini belum cukup berhasil menekan pemakaian mobil.
"Untuk mobil, saat ini memang baru ganjil genap. Namun, jika ditambah dengan pembatasan parkir, kenaikan tarif parkir, dan juga jalan berbayar, maka itu akan bisa efektif untuk mendorong pengendara mobil pindah ke angkutan umum. Yang mana hal itu akan sulit terjadi di motor jika tidak dibatasi," ucap Yoga.