JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak Oktober 2017, para sukarelawan pengatur lalu lintas (supeltas) atau yang dikenal dengan sebutan "Pak Ogah" sudah mulai bekerja. Mereka telah mengatur lalu lintas di lima wilayah kota di Jakarta.
Jaka, bersama kedua temannya Fikri, dan Diki merupakan tiga supeltas asal Jakarta Pusat yang kerap mangkal di putaran Cideng, Jakarta Pusat.
Pantauan Kompas.com, Jumat (5/1/2018), ketiga supeltas itu tampak mengenakan rompi hijau bergaris biru yang dibelakangnya bertuliskan "SUPELTAS".
Rompi ini mirip rompi yang dipakai polisi lalu lintas. Para supeltas juga mengenakan topi berwarna biru dengan tulisan "sukarelawan pengatur lalu lintas".
Bila Pak Ogah identik dengan celana pendek dan sendal, tidak bagi ketiga supeltas ini. Jaka dan ketiga temannya kompak mengenakan celana jeans panjang dan sepatu kets.
Baca juga : Pak Ogah Mulai Bekerja Sejak Peringatan Hari Sumpah Pemuda
Ketiganya juga sigap mengatur kepadatan lalu lintas kendaraan yang hendak memutar di kawasan Cideng.
Para supeltas ini tampak luwes mempraktikkan gerakan-gerakan pengaturan lalu lintas yang biasa dilakukan Polantas. Sebelumnya para supeltas telah diberikan pelatihan langsung oleh para polantas.
Ketiga supeltas ini juga tak tampak meminta sejumlah uang kepada para pengendara seperti Pak Ogah pada umumnya. Namun, ada saja pengendara roda empat atau dua yang secara sukarela memberi sejumlah uang kepada mereka.
Saat berbincang dengan Kompas.com, Jaka mengatakan seluruh seragam seperti topi dan rompi wajib dikenakan para supeltas.
Ini untuk membedakan mana Pak Ogah yang telah menjadi supeltas dan mana yang masih "liar".
Dalam aturan, kata Jaka selain seragam para supeltas juga diwajibkan menggunakan alas kaki tertutup.
"Semua anggota saya pakai seragam lengkap Bang. Karena aturannya sudah seperti itu. Tapi ada juga yang liar yang enggak mau ikut aturan," ujar Jaka.
Para supeltas, lanjut Jaka juga tidak diperbolehkan meminta uang alias "ngecrek" kepada para pengendara yang lewat. Bila ketahuan pada supeltas akan diberi sanksi.
Sanksi tegas para supeltas akan diberhentikan dari supeltas. Namun, Jaka mengatakan ada saja pengendara yang berbaik hati memberikan uang kepada mereka.
"Pokoknya kami enggak boleh 'ngecrek'," ujar Jaka.
Jaka berujar, tak semua gerakan lalu lintas yang telah dilatih, digunakan di lapangan. Gerakan "berhenti" dan "maju" merupakan dua gerakan yang paling sering digunakan untuk mengatur lalu lintas.
Menjadi supeltas, kata Jaka merupakan profesi yang cukup berbahaya. Jaka menceritakan, dia dan supeltas lainnya cukup sering hampir ditabrak oleh mobil mewah yang memaksa untuk melaju melewati putaran dan enggan untuk berhenti. Padahal saat itu kendaraan yang ingin berputar dari arah berlawanan cukup padat.
Baca juga : Anies: Pak Ogah Ide yang Menarik, Akan Kami Kaji dan Buat Tim Kecil
Jaka juga mengaku pernah ditendang dan dimaki oleh seorang oknum yang menggunakan seragam loreng-loreng tanpa tahu sebabnya.
"Kadang-kadang kami ini kena risiko. Mobil kami tahan supaya enggak maju, tapi dia kencang. Pernah juga ditendang mirip-mirip anggota, maki-maki katanya minggir kalau dia lewat. Pokonya orang kaya dan anggota lah yang susah banget diatur di jalan," ujar Jaka.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Halim Pagarra mengatakan, 500 sukarelawan pengatur lalu lintas (supeltas) atau yang dikenal dengan sebutan "Pak Ogah" sudah mulai bekerja sejak akhir Oktober 2017.
Pembentukan supeltas dilakukan untuk membantu polisi dalam mengurai kemacetan di sejumlah persimpangan dan perputaran padat kendaraan. Para supeltas diberikan pelatihan lalu lintas oleh para Polantas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.