Titik mula Samsudin memilih isu lingkungan rupanya sederhana. Ia punya kemenakan yang juga pegiat lingkungan. Suatu hari, saat sedang berkunjung ke kantor kemenakannya di Ujung Kulon, kemenakannya kedatangan tamu perempuan dari US Fish and Wildlife Service – sejenis kementerian lingkungan hidup Amerika Serikat. Samsudin sendiri sudah jatuh hati pada isu ini usai menghabiskan banyak waktu bersama kemenakannya setelah lepas dari profesi guru.
Tamu itu ngobrol panjang lebar dengan kemenakannya soal tantangan konservasi alam di Indonesia. Hingga suatu waktu, tamu bule itu menyodorkan pertanyaan dalam bahasa Inggris:
“Lembaga ini punya pendidikan sosialisasi ke masyarakat atau tidak?” kata Samsudin menirukan pertanyaan tamu bule itu.
“Walaupun saat itu saya tamu gelap, tamu pribadi, tapi saya yang jawab. Saya merasa, itu pertanyaan untuk semua orang Indonesia. Perkara saya staf lembaga itu atau bukan, no matter. Saya jawab, saya nanti berusaha melaksanakan.”
Jadilah Samsudin, hingga kini, konsisten di jalan sunyi perjuangannya lewat dongeng konservasi. Menurutnya, takdir tersebut adalah kewajiban kolektif yang tak dapat digugat.
Ia sendiri percaya, dongeng masih ampuh sebagai media pendidikan bagi anak-anak, kendati era kiwari meniscayakan jenis anak-anak yang lebih gemar menatap layar gawai dan bermedia sosial.
“Ini soal komunikasi. Memang itu tantangannya, ketika anaknya sudah keracunan gadget, saya harus lebih sabar lagi. Tapi, ketika kita bikin komunikasi dua arah, bonding lho jadinya. Membuat anak merasa diharagai keberadaannya. Itu penting banget. Saya mendorong anak supaya saat saya mendongeng ikut menimpali, atau, saya pancing dengan pertanyaan di sela kegiatan, supaya interaktif,” jelas Samsudin.
Untuk mendukung interaksi dalam dongengnya, wayang-wayang kardus miliknya yang berwujud aneka satwa memainkan peran sentral. Ada sosok tikus hitam, tikus putih, monyet ekor panjang, bekantan, tapir, sampai pesut dan sejumlah satwa lain yang sulit dijabarkan seluruhnya. Anak-anak, kata Samsudin, suka berebut menamai satwa-satwa itu menggunakan nama mereka.
Butuh sponsor
Secara terang-terangan, Samsudin mengakui bila kondisi keuangannya tengah limbung. Selain mesti mencari utangan guna menambal biaya sekolah putri semata wayangnya, ia membutuhkan sokongan pihak luar agar pengabdiannya pada dongeng konservasi tak ikut putus.
Dalam kondisi begini, ia tak bisa fokus mendongeng karena bayang-bayang utang itu membelit benaknya. Lagipula, tak selamanya ia bisa mengandalkan jaringan koleganya di bidang aktivisme lingkungan untuk memperoleh undangan mendongeng di berbagai sekolah. Seorang pejuang tidak selamanya bergerilya.
Hari ini, genap sepekan Samsudin menunaikan ikhtiarnya berjalan kaki dari Indramayu-Jakarta.
Baca juga: Peduli Literasi Anak, 4 Pemuda Jalan Kaki Wonogiri-Jakarta untuk Temui Jokowi
Ia sudah menuntaskan ikhtiar itu Kamis sore, saat ia tiba di depan Istana Merdeka bersama panji bertuliskan: “membutuhkan beasiswa agar anak bisa tetap sekolah” yang ia bawa.
Kedatangannya jelang peringatan ulang tahun RI 17 Agustus nanti sebetulnya ia harapkan jadi momentum pertemuannya dengan Joko Widodo.
“Harapannya, kalau misalkan nanti bisa didukung presiden dan ibu negara, kerja saya diperingan untuk pendidikan konservasi melalui media dongeng,” kata Samsudin.
“Yang saya harapkan bukan cuma presiden, tapi siapa pun, agar beban saya diringankan. Kedatangan saya ke Jakarta untuk menyebarkan spirit saya, agar ada sponsor yang mau mendengar. Anak saya sedang semangat-semangatnya sekolah, dia harus bisa tetap sekolah. Saya terancam tidak bisa mendongeng,” pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.