Program cuci udara
Untuk mencegah pencemaran udara makin parah, Gubernur Wiyogo mengeluarkan instruksi penanggulangan pencemaran udara akibat emisi kendaraan bermotor di Jakarta pada 6 September 1988.
Ia menginstruksikan Biro Bina Kependudukan dan Lingkungan Hidup (BKLH) DKI Jakarta untuk segera menyusun program cuci udara (clean air).
Caranya antara lain dengan mengimbau warga, khususnya pemilik kendaraan bermotor, untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor pada hari libur.
Selain itu, Wiyogo menginstruksikan Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) membuat program pemasyarakatan alat penyaring gas buangan kendaraan bermotor dan pengoperasian alat uji kendaraan bermotor.
Baca juga: Sutiyoso, Gubernur yang Mewujudkan Transjakarta
DLLAJR diminta menunjuk bengkel khusus untuk membantu pelaksanaan uji asap kendaraan bermotor dan mengeluarkan sertifikat bebas asap.
Dalam jangka menengah, Pemprov DKI era Wiyogo mengkaji pelaksanaan hari kerja dan jam kerja, mengkaji dan menyusun program pembatasan usia kendaraan bermotor berdasarkan jenis dan usia kendaraan, serta mengupayakan pemantauan kualitas udara menggunakan alat pemantauan mobile.
Angkutan umum wajib pakai BBG pada 1995
Gubernur yang akrab disapa Bang Wi menetapkan, semua angkutan umum, terutama taksi baru, harus menggunakan bahan bakar gas (BBG) pada 1995.
Penggunaan BBG dilaksanakan secara bertahap mulai Februari 1990.
“Penggunaan BBG pada kendaraan bermotor bisa menurunkan kadar timah hitam hasil pembakarannya,” kata Wiyogo (Kompas, 3 Februari 1990).
Untuk menunjang kebijakan, mantan pangkostrad berpangkat letnan jenderal itu berjanji memberi kemudahan bagi pengusaha yang berminat membangun stasiun pengisian BBG.
"Asal pengusaha yang berminat tidak minta di lokasi yang melanggar ketentuan, misalnya menggunakan taman," ujarnya.
Kebijakan lain yang dicanangkan Wiyogo kala itu, yakni hasil pembakaran knalpot kendaraan bermotor harus dilengkapi katalisator.
Setelah 24 tahun berlalu, nyatanya kebijakan Wiyogo tak bisa benar-benar direalisasikan.