JAKARTA, KOMPAS.com – Polusi udara bukan persoalan baru yang dihadapi Jakarta. Masalah itu sudah muncul lebih dari 30 tahun lalu.
Jauh sebelum Gubernur Anies Baswedan memimpin Jakarta, Gubernur Wiyogo Atmodarminto sudah lebih dulu menghadapi persoalan polusi ini.
Wiyogo adalah gubernur Jakarta periode 1987-1992.
Kompas terbitan 13 September 1988 mewartakan, pencemaran udara di Jakarta saat itu sudah melebihi ambang yang ditentukan.
Padatnya kendaraan bermotor dan kemacetan menjadi penyebab polusi udara di jalan-jalan tertentu, seperti Jalan MH Thamrin, Jalan Cililitan, dan Jalan Bandengan.
Baca juga: Wiyogo Atmodarminto, Gubernur yang Memvonis Mati Becak di Ibu Kota
Saat itu, tercatat ada 1.319.966 unit kendaraan bermotor di Jakarta. Rinciannya, 708.464 unit sepeda motor, 350.257 unit mobil penumpang, 107.909 unit bus, dan 153.358 unit mobil barang.
Polusi salah satunya disebabkan oleh timah hitam yang terdapat dalam bahan bakar bensin. Pembakaran satu liter bensin menghasilkan 0,8 gram timah hitam.
Pencemaran udara juga menjadi isu yang diberitakan Kompas pada 30 Oktober 1989. Penyebabnya pun mayoritas dari kendaraan bermotor.
Dalam berita itu disebutkan, Jalan Sudirman ditutup dari kendaraan bermotor setiap Minggu pagi dan digunakan untuk kegiatan olahraga.
Monas juga digunakan untuk kegiatan senam dan lainnya yang tidak menggunakan kendaraan bermotor.
Kebijakan itu tentunya dibuat dalam rangka mengurangi polusi udara.
Baca juga: Gubernur Wiyogo Atmodarminto Menggusur yang Menghambat Pembangunan
Polusi udara Jakarta kembali diberitakan Kompas pada 13 Januari 1990. Kadar debu udara di beberapa wilayah Jakarta saat itu sudah jauh melewati nilai ambang batas yang ditetapkan.
Hasil pengukuran di kawasan perdagangan Bandengan Utara dan beberapa tempat membuktikan kadar debu udara rata-rata lebih dari 551 mikrogram per meter kubik.
Padahal, nilai ambang batas debu di udara ditetapkan hanya 260 mikrogram per meter kubik.
Pencemaran udara disebabkan banyaknya industri dan semakin langkanya ruang hijau.