JAKARTA, KOMPAS.com - Puluhan tahun lalu, seniman-seniman di Jakarta mengeluhkan kurangnya fasilitas penyaluran bakat kesenian kreatif di ibu kota. Keluhan para seniman ini kemudian ditanggapi Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1968.
Ali menganggap keinginan para pelaku seni itu selaras dengan cita-cita menjadikan Jakarta sebagai kota budaya.
Menurut Ali Sadikin, Jakarta bukan saja kota dagang, pusat administrasi negara, dan pusat kegiatan politik. Jakarta juga bisa menjadi jendela kebudayaan Indonesia bagi pendatang dari mancanegara.
“Saya ingin menjadikan ibu kota Jakarta sebagai kota budaya, di mana kesenian Indonesia dapat muncul di Jakarta,” ujar Ali seperti dikutip dari Kompas, 11 November 1968.
Baca juga: Seniman Tolak Rencana Pembangunan Hotel Bintang Lima di Kawasan TIM
Untuk mewujudkan sebuah pusat budaya dan kesenian di ibu kota, Ali kemudian menunjuk tujuh orang seniman sebagai formatur Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Mereka terdiri dari Mochtar Lubis, Asrul Sani, Usmar Ismail, Rudy Pirngadi, Zulharman Said, D Djajakusuma, dan Gajus Siagian.
Tujuh seniman ini juga yang ditunjuk Ali untuk mengelola Pusat Keseniaan Jakarta.
Gubernur yang dilantik langsung oleh Soekarno itu juga meminta tujuh seniman tersebut untuk membuat sebuah kegiatan seni untuk dapat dipertontonkan ke khalayak ramai.
“Tugas kami, pemerintah daerah, adalah menyediakan infrastruktur fasilitas berkreasi bagi saudara-saudara seniman budaya di Ibu Kota. Selanjutnya, kegiatan kreatif terserah. Kami pemerintah tidak ikut campur,” ucap Ali.
Akhirnya, Ali membangun Pusat Kesenian Jakarta yang kemudian diberi nama Taman Ismail Marzuki (TIM). Ali memilih areal bekas kebun binatang yang luasnya kurang lebih delapan hektar di Jalan Cikini Raya 73.
Lokasi ini dipilih Ali lantaran mudah dijangkau masyarakat dengan berbagai macam alat transportasi.
Saat hendak mendirikan TIM, Ali melihat Planetarium yang berdiri sejak 1964 terbengkalai lantaran tidak adanya biaya pemeliharaan dari pemerintah pusat.
Saat itu, Ali berinisiatif melanjutkan pembangunan Planetarium yang kemudian diintegrasikan dengan TIM.
Untuk tahap awal dianggarkan Rp 90 juta untuk pembangunan TIM. Proyek ini diberi nama Taman Ismail Marzuki sebagai penghargaan kepada almarhum Ismail Marzuki yang dikenal sebagai putra Jakarta, komponis, sekaligus pejuang kemerdekaan.
Sebelum TIM diresmikan, Ali meminta agar pepohonan di kawasan itu terpelihara. Bahkan, ia meminta agar pepohonan di kawasan TIM ditambah untuk menjaga keteduhan.
Baca juga: Jakpro: Pembangunan Hotel di TIM Cuma 4,1 Persen, Kecil Banget...
“Saya perintahkan supaya pohon-pohon yang masih ada di sana dipelihara. Malahan harus ditambah, supaya terasa terduh. Hijau itu kan indah dan harus bersih. Penampilan TIM harus bagus dan enak dipandang,” kata Ali yang dikutip dari buku "Bang Ali demi Jakarta 1966-1977".