Program itu, menurut Mursidin, dilakukan berdasarkan kajian. Bukan kajian melibatkan peneliti, melainkan rapat dan identifikasi lapangan bersama aparat Kelurahan Manggarai Selatan.
Dalam praktiknya, program itu menjaring hanya 50 pemuda setiap tahun dan dilakukan cuma 3 hari dari 12 bulan, melalui penyuluhan bimbingan teknis.
Pihak lain, kata Mursidin, tentu punya perspektif berbeda melihat fenomena tawuran Manggarai.
“Kalau masalah yang lain, tentu ada bagian lain. Coba tanyakan ke Suku Dinas UMKM, misalnya, atau ke Kesbangpol,” lanjut Mursidin.
Dugaan pemerintah dan polisi memang tidak keliru. Namun, di saat kondisi sosial warga Manggarai demikian kompleks, mereka justru memandangnya secara parsial dan dangkal.
Akibatnya mudah ditebak, solusi-solusi yang ditawarkan tak banyak berdampak lantaran gagal menyentuh akar persoalan.
Mursidin misalnya, ia mengakui Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan mengalami keterbatasan anggaran untuk mengembangkan program pembekalan cuci steam. Akhirnya, ia memahami tawuran bisa terus-menerus terjadi karena programnya amat terbatas cakupannya.
Pada 29 Oktober lalu, Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat membacakan ikrar damai untuk mencegah tawuran.
Ada empat poin dalam ikrar itu: 1) Berjanji menghentikan permusuhan dan senantiasa bantu mencegah konflik bersama aparat; 2) Mengutuk keras para provokator; 3) Mendukung pencabutan fasilitas Pemprov DKI kepada pelaku tawuran; 4) Meminta kajian terhadap akar masalah.
Ikrar itu tak banyak berguna. Buktinya, pada 1 Desember ini, tawuran kembali pecah.
Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Setiabudi, Kompol Tri Suryawan mengakui bahwa hingga saat ini, belum ada yang sanggup menemukan akar permasalahan di balik fenomena tawuran di Manggarai. Polisi pun tidak.
“Sampai detik ini kan masih simpang siur (penyebab tawuran). Sudah kami cari akar permasalahaannya. Tapi ya, begitu lagi, begitu lagi,” kata Tri pada 3 September lalu.
Imam Prasodjo tak heran dengan terus berulangnya tawuran di Manggarai dan betapa tidak jitunya solusi-solusi yang ditawarkan.
Senada dengan Tri, Imam mengungkapkan bahwa perlu penelitian yang serius guna menemukan akar permasalahan tawuran itu.
Setelah itu, pemerintah dapat menyusun langkah-langkah strategis dan tepat sasaran. Tanpa penelitian yang komprehensif, dugaan penyebab tawuran di Manggarai selalu saja menyederhanakan masalah yang sejatinya pelik.
“Saya kira memang perlu sekali ada mapping. Selama ini masih absen dari pemerintah. Pemerintah selalu tebak-tebakan, polisi pun juga,” ujar Imam.
“Soal solusi pemberian kerja, misalnya. Ini banyak anak SMP dan anak kecil yang terlibat dalam tawuran. Ini bukan semata-mata masalah orang nganggur dan butuh kerja. Kalau pelakunya anak bukan usia kerja, ya tentu ada kebutuhan lain yang harus dijawab, yaitu kegiatan anak muda. Dan tidak semua jawabannya kerja, karena ini bukan semata-mata orang yang ingin kerja,” ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.