Ia bilang, kerapkali ia berteriak-teriak tak keruan di tengah malam ketika tengah menunaikan pekerjaannya sebagai sopir pengantar barang. Guntur tak kuasa membayangkan detik-detik saat anaknya diperlakukan kurang ajar bukan hanya sekali, melainkan lebih dari tiga kali, oleh pejabat senior gereja itu.
Insiden pencabulan oleh SPM terhadap anak Guntur terjadi dalam rentang tiga bulan, diawali sejak Januari 2020 ketika SPM mulai menyentuh-nyentuh kemaluan korban, hingga pertengahan Maret 2020.
Kuasa hukum korban, Azas Tigor Nainggolan menduga bahwa SPM melancarkan aksi-aksi permulaan secara halus agar korbannya tidak berontak atau bahkan tak merasa sebagai korban ketika dicabuli.
Guntur bilang, modus halus SPM dilakukan dengan membentuk “tim informasi” di dalam internal kegiatan misdinar, beranggotakan tiga anak. Anak Guntur, sialnya, sengaja dipilih sebagai ketua tim.
Baca juga: Kasus Pencabulan Anak oleh Pengurus Gereja di Depok: Korban Diancam jika Tak Nurut
“Sehingga anak saya ini mau tidak mau harus selalu berhubungan dan mengadakan rapat dengan dia (SPM). Saya tanya anak saya, kenapa bisa kamu terus (yang diincar)? Dia jawab, ‘sesudah selesai rapat, yang dua disuruh keluar ruangan’. Anak saya mau ikut dengan mereka, tetapi ditahan oleh dia dengan alasan di suruh merapi-rapikan perpustakaan,” ungkap Guntur.
Perpustakaan di lantai dua gedung Gereja Herkulanus selalu jadi lokasi pencabulan yang dilakukan oleh SPM terhadap anak Guntur. Korban-korban lain dicabuli di tempat-tempat lain. Ada yang di rumah atau mobil SPM, bahkan ada pula, menurut Guntur, yang dicabuli di rumahnya sendiri.
Ditinggal seruangan berdua dengan SPM di perpustakaan yang letaknya di penjuru lantai dua, anak Guntur seperti terjerumus di jalan buntu. Kuldesak. Dia tak bisa lari ke mana-mana.
Setelah mengusir halus dua anak lain, SPM disebut selalu mengunci pintu dan menyimpan kuncinya. Pintu tersebut terbuat dari bahan kayu, tanpa sedikit pun kaca. Ruangan tersebut kedap suara. Memekik sekuat apa pun dari dalam perpustakaan, lengkingannya hanya terdengar sayup-sayup dari luar.
Anak Guntur bukannya pasrah. Ia melawan balik. Walaupun tak berhasil, setidaknya ia mencoba berontak terhadap pembinanya yang bejat itu.
“Aku berusaha melawan, tetapi tidak bisa, karena dia lebih besar badannya, dia lebih kuat. Jadi (celana) dibuka paksa,” tutur anak Guntur seperti ditirukan ayahnya.
“Aku takut sama dia kalau dia sudah marah. Aku takut.”
Guntur mengatakan, anaknya sudah 1 tahun lebih ikut kegiatan misdinar dengan SPM sebagai pembina kegiatan. Selama itu pula, ia menyaksikan perlakuan SPM terhadap anak-anak “senior” di misdinar, yang tidak ia suka.
Dari mencaci-maki mereka dengan kata-kata kasar dan jorok, memukul dan menendang mereka, ujar Guntur, sudah pernah disaksikan langsung oleh anaknya selama 1 tahun lebih bersama SPM.
Babak demi babak lakon kekerasan oleh predator seksual anak itu mau tidak mau menyisipkan teror kepada anak-anak lain. Itu belum menghitung ancaman dan intimidasi yang dilancarkan SPM agar anak-anak misdinar itu tak ikut kegiatan lain selain misdinar – jika melanggar, harus angkat kaki.
Baca juga: Pengurusnya Lakukan Pencabulan, Gereja di Depok Janji Bantu Pulihkan Trauma Para Korban
Anak Guntur tak terkecuali. Ia kian merasa inferior terhadap SPM akibat rentetan kekerasan fisik dan verbal itu.
SPM punya kebijakan, bahwa tak seorang pun anak-anak yang ia bina boleh menunjukkan isi grup WhatsApp kegiatan misdinar kepada orangtua mereka masing-masing. Ajaibnya, anak-anak itu manut semua. Tak terkecuali anak Guntur. Bukti bahwa teror tadi bekerja dan menghegemoni isi kepala anak-anak itu.
“Bukan hanya saya saja. Banyak orangtua lain (yang meminta melihat isi grup WhatsApp misdinar), tetapi anak-anaknya tetap tidak memberikan untuk dilihat. Anak-anaknya menurut, seperti sudah dicuci otaknya karena ada teror tadi itu,” ujar Guntur.
“Mas. Bukan hanya kata-kata (tak pantas) saja, tapi (SPM) juga mengirimkan gambar yang tidak senonoh (di grup), dari stiker sampai foto yang tidak bagus, pokoknya tidak pantas lah anak-anak usia segitu melihat gambar yang seperti itu, dengan kata-kata di chat seperti itu. Gambar-gambar porno di grup itu banyak, sayang gambarnya sudah saya hapus karena sudah saya berikan ke Komnas HAM.”
“Jadi mereka selalu berkomunikasi melalui grup WA dan tidak pernah melalui japri, karena dia (SPM) tidak mau kata-katanya ketahuan melalui japri. Itu gila. Orang Komnas HAM saja kaget melihat itu. Kayak ada gambar ‘burung’ (alat kelamin pria), lalu perempuan dadanya kelihatan semua, gawat,” tutur Guntur.
Bahkan, meski sudah berbagi pengalaman kelam kepada orangtuanya, anak Guntur masih tak membiarkan ayah dan bundanya mengetahui satu insiden pahit. Guntur tak tahu, apakah itu merupakan imbas teror yang masih berbekas di kepala anaknya.
Pelaku pada 14-15 Maret 2020 melakukan pencabulan dengan menyentuh dubur korban.
"Itu anak saya tidak cerita. Jadi, anak saya dicabuli empat kali. Saya tahunya dari pelaku (pada pertemuan 6 Juni di Ciawi),” kata Guntur.
“Saya mau pelaku dihukum berat”