Tapi tanggal 10 Oktober 1834, Gunung Salak meletus dan menghancurkan bangunan istana Bogor yang bertingkat. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Albertus Duijmajer van Twist (1851-1856) dibangun kembali istana berlantai satu untuk menghadapi kemungkinan gempa.
Sejak 1870 di masa Gubernur Jenderal Charles FP de Montager, Istana Bogor dijadikan kediaman resmi gubernur jenderal Belanda.
Sejak tahun 1870 sampai 1942 Istana Bogor dijadikan kediaman resmi 38 gubernur jenderal Belanda.
Pembangunan Istana Bogor dari pemerintah Belanda ini ada yang memperhatikan situs-situs peninggalan para raja Kerajaan Pajajaran (paling tidak ada enam raja, 1482-1579). Tapi juga ada yang tidak mengindahkan tempat-tempat yang dianggap keramat dari Prabu Siliwangi.
Ketika tentara penjajah Jepang masuk Indonesia, 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwer menyerahkan kekuasaanya kepada Jenderal Imamura. Penjajah fasis Jepang menggunakan istana ini menjadi markas tentara dan tidak dipelihara keindahannya.
Bangunan-bangunan ada yang dicat hitam dan dijadikan penjara perang. Kijang-kijang dipotong untuk dimakan para tentara.
Setelah proklamasi kemerdekaan RI 1945, 200 orang pemuda anggota Barisan Keamanan Rakyat (BKR) merebut Istana Bogor dari tangan tentara Jepang.
Tapi ketika pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda masuk Indonesia lagi, tentara bayaran, Gurkha, merebut Istana Bogor dari BKR. Perebutan ini tentu makan korban.
Baru 1949, setelah Belanda resmi mengakui kemerdekan RI, di Istana Bogor diadakan beberapa pembangunan, renovasi dan perbaikan oleh pemerintahan Bung Karno.
Menjelang 1960, Bung Karno menjadikan Istana Bogor sebagai kediaman resmi presiden. Hari Jumat, Sabtu dan Minggu Bung Karno tinggal di Istana Bogor.
Demikian sejarah Istana Bogor menurut buku Asti Kleinsteuber yang juga diberi sekapur sirih atau “sepatah kata” dari Prof Edi Sedyawati, arkeolog, pengajar, dan Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993-1999).
Membaca buku ini dan disertasi Indiana Ngenget (termasuk wawancara saya dengan orang Bogor ini), saya jadi ingat cerita dari para karyawan Istana Bogor (orang-orang Sunda) yang bekerja sejak masa Bung Karno. Para orang tua para karyawan itu sebagian besar adalah juga bekerja di Istana Bogor di masa Bung Karno.
Kalau mereka bercerita tentang Bung Karno, terutama bila sedang berada di halaman istana, rasanya seperti sedang mendengar seribu kisah mitos dan legenda. Apalagi hubungan Bung Karno dengan hewan-hewan yang ada di situ, seperti rusa dan burung-burung.
“Bila Pak Karno berjalan di halaman, rusa-rusa dan burung-burung mengerumuni. Ada yang minta dielus-elus. Pak Karno punya kanuragan, hormat pada niskala dan mengerti kepada kabuyutan, dangiang Sunda,” demikian kata mereka pada saya ketika saya meliput acara di Istana Bogor di masa pemerintahan Soeharto.