Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Bang Ali hingga Ahok, Cerita Para Mantan Gubernur DKI Tangani Banjir di Jakarta

Kompas.com - 25/02/2021, 10:35 WIB
Theresia Ruth Simanjuntak

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Banjir menjadi masalah klasik bagi DKI Jakarta di mana nyari setiap tahun masalah yang sama mendera Ibu Kota.

Setiap gubernur di DKI Jakarta punya cerita sendiri perihal banjir, seperti strategi untuk mengatasi persoalan klasik itu.

Berikut cerita dari para mantan Gubernur DKI Jakarta dalam menangani banjir di Ibu Kota.

Baca juga: Cerita Pemerintah Hindia Belanda Habiskan Jutaan Gulden, tetapi Tak Bisa Atasi Banjir Jakarta

Bang Ali bangun waduk

Gubernur ketujuh DKI, Ali Sadikin, mengatakan, banjir memang masalah yang merepotkan baginya selama 19 tahun memimpin Jakarta pada 1966-1977.

"Banjir sewaktu saya bertugas sangat merepotkan kita," ujar Ali dalam buku "Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977" karya Ramadhan KH.

Ali menyebut, pihaknya telah menerapkan sejumlah program demi mengatasi banjir di Jakarta.

"Yang bisa saya lakukan hanyalah mengeruk muara-muara sungai, normalisasi sungai dan saluran, pembuatan waduk penampungan air dan pemasangan instalasi-instalasi pompa pembuangan air," paparnya.

Kendati demikian, Ali mengakui program yang ia terapkan tak bisa menyelesaikan masalah banjir secara keseluruhan.

Ia beralasan, sejumlah wilayah di Jakarta lebih rendah dari permukaan laut.

"Tempat-tempat itu ialah di sebelah selatan Banjir Kanal. Tanah Abang, Gunung Sahari, daerah Menteng, Pademangan, Sunter, semuanya lebih rendah dari permukaan laut. Petanya pun sudah ada mengenai ini," urai Ali.

Ali menekankan, Jakarta tidak akan bisa lepas dari banjir apabila tidak mengadakan sistem drainase yang sempurna. Akan tetapi, biayanya mahal.

Biaya yang diperlukan untuk membangun drainase di masa bertugasnya Ali mencapai 800 juta dollar AS.

Sedangkan perhitungan biaya untuk proyek penanggulangan banjir sesuai dengan rencana induk dalam programnya adalah sebesar Rp 500 miliar.

Ali kemudian mengajukan besaran anggaran tersebut kepada Pemerintah Pusat.

Pada tahun anggaran 1975-1976, Pemerintah Pusat mengucurkan dana penanggulangan banjir sebesar Rp 4,2 miliar.

Dengan anggaran tersebut, sejumlah waduk kemudian dibangun yaitu Waduk Setiabudi, Waduk Melati, dan Waduk Pluit.

Tak hanya waduk, beberapa saluran juga dikerjakan seperti Saluran Cakung, pengerukan Kali Cideng, Banjir Kanal, dan Pintu Air Karet sampai Jembatan Gantung Tanah Abang.

Baca juga: BPBD DKI Sebut Status Jakarta Siaga Banjir Pada Kamis Hari Ini

Bang Wi di masa penerapan Prokasih

Gubernur DKI periode 1987-1992, Wiyogo Atmodarminto, juga harus memikirkan solusi penanganan banjir.

Pasalnya, menurut Bang Wi, topografi Jakarta yang rendah membuat aliran hulu sungai di wilayah Jawa Barat mengalir ke Jakarta untuk dibuang ke Laut Jawa.

"Sebab, banjir antara lain karena topografi wilayah DKI lebih rendah dari wilayah Jawa Barat. Akibatnya, sungai-sungai yang berhulu di Jawa Barat mengalir ke DKI untuk membuang airnya ke laut Jawa," tulis Bang Wi dalam buku "Catatan Seorang Gubernur" oleh Wiyogo Atmodarminto.

Dia menjelaskan, pada umumnya seharusnya topografi Jakarta, yakni tujuh meter di atas permukaan laut.

Namun, seiring berjalannya waktu, permukaan tanah Jakarta semakin rendah karena berbagai alasan seperti air tanah yang terus diserap warga serta industri hotel dan lainnya.

Dengan demikian, terjadi kekosongan yang menimbulkan rongga pada tanah.

Di masa kepemimpinannya, Pemerintah Pusat punya program dalam upaya penuntasan banjir yang dinamakan Proyek Kali Bersih (Prokasih).

Ada tiga sungai di Jakarta yang kemudian menjadi fokus program Prokasih era Bang Wi, yakni Sungai Ciliwung, Cipinang, dan Mookervart.

"Di DKI Prokasih melibatkan tiga sungai: Ciliwung, Cipinang, Mookervart," ujar Bang Wi.

Proyek tersebut menemui sejumlah permasalahan, seperti di Sungai Ciliwung.

Menurut Bang Wi, kondisi sungai tersebut sangat memprihatinkan, dipenuhi sedimentasi, dan tampak kumuh karena warga yang tinggal di bantaran kali.

"Mengatasi masalah Ciliwung saja belum bisa dilaksanakan. Sebab, polusi ini hasil perbuatan manusia, berarti harus memindahkan warga yang ada di bantaran sungai tadi," ujar Wiyogo.

Wiyogo menjelaskan, merelokasi warga di bantaran kali jauh lebih sulit dibanding mewajibkan pabrik-pabrik untuk menyaring limbahnya agar tidak jadi polusi.

Baca juga: Wagub DKI: Banjir di Daerah Lain Berhari-hari Belum Selesai, di Jakarta Satu Hari Surut

Ia menambahkan, untuk mewujudkan proyek nasional, perlu ada dukungan besar dari semua elemen termasuk pemerintah dan masyarakat.

"Untuk proses evolusi urban ini, kita perlu membuat perencanaan yang baik. Dan untuk itu, segenap warga diharapkan menaati peraturan-peraturan yang ada," tutur Bang Wi.

Di era Bang Wi, ada proyek pembangunan Kanal Banjir Timur dan Barat yang pengerjaannya kemudian berlanjut ke pemerintahan gubernur selanjutnya seperti Sutiyoso.

Bang Yos dan konsep tembok raksasa

Sementara itu, Gubernur DKI periode 1997-2007, Letnan Jenderal (Purn) TNI Sutiyoso mengaku telah memikirkan konsep giant sea wall atau tembok raksasa guna mengantisipasi banjir karena air pasang laut atau rob.

Di era Bang Yos, setidaknya ada 30 persen daerah di Jakarta yang permukaannya sejajar dengan permukaan air laut.

Hal itu menyebabkan beberapa kawasan seperti di Jakarta Utara terkena banjir rob setiap kali terjadinya air pasang.

"Jakarta ini kota pantai atau dekat pantai, dan 30 persen daerahnya itu flat atau sama dengan daratan di pantai," kata Bang Yos saat wawancara khusus dengan Kompas.com, Senin (3/2/2020) lalu.

Bang Yos kemudian, melihat dan belajar dari negara-negara maju di Eropa. Konsep giant sea wall dari Belanda dipilihnya.

"Nanti tembok ini berfungsi juga sebagai jalan tol juga dari barat ke selatan jadi dibuat multifungsi, sehingga air akan balik lagi karena ada tembok raksasa nya seperti itu Belanda juga bikin seperti itu," paparnya.

Konsep giant sea wall itu kemudian menjadi megaproyek tanggul laut raksasa atau proyek Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

Tanggul laut itu dibangun di utara Jakarta, bertujuan untuk menyelamatkan daratan Jakarta dari ancaman banjir rob.

NCICD tipe A merupakan bagian dari proyek NCICD yang mencakup peninggian dan penguatan tanggul laut di pantai utara sepanjang 32 kilometer dan pemasangan stasiun pompa.

Ide untuk membangun NCICD disebut digaungkan pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Saat itu, muncul ide agar pembangunan tanggul tidak membebani anggaran negara.

Baca juga: Fraksi PSI Kembali Pertanyakan Terjadinya Banjir Jakarta Saat Katulampa Berstatus Normal

Ide itu kemudian dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan perjanjian dengan PT Manggala Krida Yudha, pengembang yang mengantongi izin prinsip reklamasi Pulau M.

Namun, izin prinsip reklamasi Pulau M dicabut oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada September 2018.

Buntut dari pencabutan izin reklamasi itu, pengembang mengundurkan diri.

Sejumlah permasalahan penuntasan tanggul masih terjadi sampai saat ini, meski pengerjaannya kini dibagi ke Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta dan Kementerian PUPR.

Foke dan Proyek JEDI

Gubernur DKI periode 2007-2012, Fauzi Bowo, mencetuskan proyek Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI).

Proyek tersebut secara umum mencakup perbaikan sungai, waduk dan situ, serta merehabilitasi sejumlah jalan air utama di Jakarta.

JEDI, yang dicetuskan pada 2009, baru bisa dijalankan pada Maret 2012 karena persoalan dana.

Proyek itu lama teronggok karena terganjal peraturan pemerintahan (PP) untuk mengajukan pinjaman dari Bank Dunia.

Bank Dunia, disebut Foke, siap menyediakan pinjaman untuk proyek JEDI sebesar Rp 1,5 triliun atau setara dengan 150,5 juta dollar AS. Pinjaman ini dibagi dua, yaitu pinjaman Pemerintah Pusat Rp 631 miliar (46,6 persen), dan pinjaman Pemprov DKI Rp 724 miliar (53,4 persen).

"Saya kan ingin dari awal 2009. Apapun yang diputus silakan saja yang penting cepat kerja," kata Foke di Balai Kota, Jakarta, Rabu (23/11/2011).

Proyek JEDI pun mulai dijalankan setelah Bank Dunia memberikan pinjaman.

Gubernur DKI berikutnya, Joko Widodo, kemudian melanjutkan proyek JEDI. Akan tetapi, perjanjian peminjaman dana dari Bank Dunia dipersingkat dari lima tahun ke dua tahun agar bunga utang tidak membengkak.

Baca juga: Manuver Anies Atasi Banjir: Ganti Kadis Sumber Daya Air

Ahok merelokasi warga demi normalisasi sungai

Gubernur DKI periode 2014-2017, Basuki Tjahaja Purnama, dikenal publik sebagai sosok yang keras dan tegas, termasuk dalam penanganan banjir.

Tak tanggung-tanggung, Ahok gencar menertibkan bangunan liar di sekitar waduk dan sungai.

Ia bahkan merelokasi warga yang sempat tinggal di bantaran kali ke sejumlah rumah susun (rusun).

Menurutnya, hal tersebut diperlukan agar penerapan normalisasi sungai dan waduk dapat maksimal.

"Prinsipnya begini, jika hujan turun terus menerus air di sungai maupun waduk dapat meluap, karena ada titik maksimal menampung air. Terlebih kurangnya daya tampung juga dikarenakan banyaknya bangunan yang berdiri di atasnya atau di pinggirannya," kata Ahok seperti dikutip Kompas.com dalam buku "Kebijakan Ahok" oleh Basuki Tjahaja Purnama.

Ahok pun tidak gusar dengan pendapat bahwa ia tidak manusiawi saat merelokasi warga di bantaran sungai.

"Kebijakan penertiban inilah yang selalu dikaitkan dengan cara kepemimpinan saya yang disebut tidak manusiawi. Justru kalau saya membiarkan warga terendam banjir di setiap musim hujan lah yang tidak manusiawi," ujar Ahok.

"Toh, saya menggusur tidak asal gusur. Di sekitar area normalisasi saya relokasi ke rusun-rusun milik Pemprov DKI Jakarta, mulai dari Rusunawa Marina hingga Rusun Pulo Gebang di Jakarta Timur," tambahnya.

Ahok menegaskan, ia tidak serta merta menggusur warga, melainkan bersosialisasi terlebih dahulu.

"Apakah saya serta merta main gusur saja? Tanpa sosialisasi? Sosialisasi soal normalisasi sungai dan waduk kepada warga ini membutuhkan waktu cukup lama," ucap Ahok.

Saya membutuhkan setidaknya tiga tahun agar sebagian besar warga mengerti dan memahami soal program pengentasan masalah banjir ini," katanya lagi.

Di masa kepemimpinan Ahok, proyek normalisasi Sungai Ciliwung yang dicanangkan pendahulunya, Joko Widodo, pada 2013 masih berjalan.

Akan tetapi, normalisasi tersebut tidak bisa dituntaskan karena adanya pergantian gubernur di DKI saat normalisasi baru selesai sepanjang 16 kilometer dari total 33,69 kilometer.

Proyek tersebut bahkan dihapus dalam draf perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jakarta 2017-2022.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER JABODETABEK] Warga yang 'Numpang' KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

[POPULER JABODETABEK] Warga yang "Numpang" KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

Megapolitan
Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com