Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Butet Manurung dan Mimpi tentang Masyarakat Adat yang Berdaulat

Kompas.com - 29/04/2021, 06:56 WIB
Vitorio Mantalean,
Nursita Sari

Tim Redaksi

Dari etimologinya saja, pendidikan telah mengandung pesan pembebasan dan kemerdekaan.

“Ketika mereka (Orang Rimba) mengadopsi motor dan handphone, aku sempat sedih. Sampai kupikir, kenapa aku harus seperti itu? Itu seperti orang jatuh cinta sama orang, tapi ingin menyetirnya,” kata dia.

“Mereka pun tahu risiko mengadopsi beberapa hal dari kota. Sampai sekarang, mereka (Orang Rimba) tidak mau listrik. Melihat itu, aku bangga mereka punya filter dan keputusan yang percaya diri, ‘Saya tidak mau listrik, saya mau handphone. Saya mau universitas, tapi untuk jadi pengacaranya Orang Rimba’,” ujar perempuan yang menamatkan S2 Antropologi Terapan di Australia National University itu.

Pendidikan untuk kehidupan, hidup untuk mendidik

Beberapa anak Rimba kini memiliki akun media sosial, tapi bukan berarti setiap hari mereka dapat berbincang secara virtual dengan Ibu Guru Butet.

Seperti Butet bilang, tidak ada anak-anak Rimba yang meninggalkan hutan, sekalipun ada di antara mereka yang bahkan sudah menang penghargaan film tingkat internasional.

“Mereka harus keluar Rimba dulu (untuk WhatsApp-an),” ujar Butet, mengaku rindu nian dengan Rimba dan masyarakatnya.

Meski kini dirinya jauh dan pagebluk Covid-19 seperti tak berkesudahan, tetapi ia bersyukur, program-program Sokola dapat terus berlangsung.

Sokola, yang sejak 2016 berubah nama Sokola Institute dan bercita-cita jadi lokus riset tentang masyarakat adat, seperti diberkahi dengan relawan-relawan hebat.

Baca juga: Kapten Fierda Panggabean dan Tragedi Merpati CN-235 di Gunung Puntang

Relawan adalah ujung tombak pendidikan Sokola. Mereka diharuskan tinggal di tengah komunitas adat, alias live in, selama minimum dua tahun. Dua tahun! Metode inilah yang kelak membawa mereka peka terhadap perspektif lokal.

“Tidak mudah sebenarnya," ujar Butet, "Mereka (relawan) harus belajar bahasa lokal."

“Mereka selalu mendapat shock culture, biarpun sudah digembleng, karena cara hidup, bahasa, hilang sinyal, putus pacar. Walaupun dia sering ke gunung, tapi pernahkah ke gunung sebulan? Kan tidak. Ini malah dua tahun," ucapnya.

Pada akhirnya, relawan-relawan Sokola mampu bertahan karena, laiknya Butet dulu, mereka menemukan zona nyaman di tengah-tengah masyarakat adat.

Tak terbersit kegalauan lantaran telah melepas kemapanan ala hidup modern.

“Aku dulu takut membayangkan kerja di Sudirman,” aku Butet geli.

“Awalnya aku juga shock culture, tapi lama-lama terbawa mereka (orang Rimba). Kita belajar sambil selonjoran, menunjuk papan tulis pakai kaki. Gila, enak banget. Aku beruntung banget bisa punya pekerjaan seperti ini.”

Baca juga: Ruhana Kuddus, Wartawati Pertama yang Gencar Menentang Poligami, Nikah Dini dan Dominasi Laki-laki

Atas usahanya meningkatkan kualitas hidup masyarakat adat, Butet diganjar Ramon Magsaysay Award, penghargaan yang dianggap Hadiah Nobel versi Asia, pada 2014.

Sepuluh tahun sebelumnya, majalah TIME mendapuknya sebagai Heroes of Asia 2004.

Masih ada gelar-gelar lain yang tak kalah prestise, tetapi bagi ibu dua anak itu, penghargaan-penghargaan semacam itu hanya bonus. Ia tak pernah mendambakan itu semua.

Mimpinya, lagi-lagi, hanya jadi Indiana Jones. Sekarang, mimpi itu bertambah: memerdekakan masyarakat adat dari pembodohan dan pemiskinan.

“Cuma itu yang membuatku bahagia. Aku tidak melihatnya sekadar senang, tapi itu pekerjaan yang juga penting,” tutur Butet, setelah menertawai masalah pendanaan yang dianggapnya masalah abadi tetapi senantiasa membuatnya bersyukur.

Ia masih berharap, Sokola dapat direplikasi oleh banyak gerakan lain sehingga masyarakat adat yang didampingi semakin banyak.

Walaupun Sokola telah menjangkau lebih dari 10.000 orang adat, tetapi itu bukan tolok ukur keberhasilan, ujar Butet.

Jumlah itu juga tak banyak berarti karena faktanya, ada jutaan masyarakat adat di Indonesia.

Jutaan masyarakat adat itu bertahan hidup dari alam tempatnya tinggal—tanah ulayat yang mungkin bakal dilibas oleh dalih pembangunan, baik atas nama ekspansi perkebunan sawit, bisnis pertambangan, atau industri pariwisata. Kecil peluang mereka menang dari ancaman itu bila buta huruf.

Baca juga: Kisah Bintarti, Perempuan di Balik Perawatan Puluhan Ribu Taksi Blue Bird

Bagi Butet, Sokola baru dapat disebut berhasil bila sanggup mengubah arah kurikulum nasional, dari yang kini satu arah dengan kacamata kuda Jakarta, menjadi kurikulum pendidikan yang dialogis dan memerdekakan.

Cita-cita soal pendidikan yang memerdekakan semacam ini dulu adalah juga gagasan RA Kartini.

Sekolah perempuan yang dicita-citakan Kartini sejak lama akhirnya berdiri di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang, setelah pernikahannya dengan KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat pada 1903.

Setahun setelah pernikahannya, Kartini melahirkan Soesalit Djojoadiningrat. Empat hari kemudian, ia meninggal dunia di usia 25 tahun.

Kartini tak bisa lama menikmati mimpi yang ia wujudkan susah-payah dengan mendobrak sekat-sekat kaku patriarki dan feodalisme dalam keluarga.

Baca juga: Fakta Menarik Irene Sukandar: Ambisi Kalahkan Kakak, Keliling Pasar Latih Mental, dan Karier Cemerlang

Butet, ketika melahirkan Sokola, memang tak dibatasi oleh orangtua laiknya Kartini.

Namun, Butet sudah menerobos batas yang lain, yaitu anggapan umum bahwa masyarakat adat adalah masyarakat terbelakang yang harus membebek pada modernitas jika ingin dipandang maju dan beradab.

Sebagaimana Kartini yang, meski hanya sebentar, menemani sekolah impiannya hingga akhir hayat, begitu pun Butet berharap.

“Sampai kapan, ya, sampai aku mati. Sokola itu hidupku. Itu bayiku,” kata Butet.

Bayi itu kini telah berusia 17 tahun dan bisa berjalan sendiri.

“Aku yakin, aku tidak ada pun, Sokola bisa jalan. Bukan Sokola butuh aku, aku yang butuh Sokola,” ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com