Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Butet Manurung dan Mimpi tentang Masyarakat Adat yang Berdaulat

Kompas.com - 29/04/2021, 06:56 WIB
Vitorio Mantalean,
Nursita Sari

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - "Bagaimana sepatutnya membuat kebajikan sebesar-besarnya bagi manusia? Apakah dengan melalaikan diri sendiri, ataukah dengan mewujudkan kehendak diri sendiri?”

Barusan merupakan satu petikan dari surat-surat RA Kartini yang dibukukan dalam Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979) yang diterjemahkan Sulastin Sutrisno.

Kartini dilema. Mimpinya agar perempuan beroleh akses pendidikan adalah angan yang terlalu muluk pada zamannya.

Ia sempat berpikir untuk menguburnya dalam-dalam demi tenang hati orangtua.

“Apakah harus mengundurkan diri demi dua orang yang sangat dicintai, ataukah mewujudkan kehendak diri sendiri berbakti kepada keluarga besar masyarakat?"

Mimpi di pedalaman

Hutan Bukit Duabelas, Jambi, sekitar 20 tahun silam. Saur Marlina Manurung lari tunggang-langgang di belantara rimba. Ia dikejar beruang.

“Aku masuk sungai, kantong penuh air, sepatu ketinggalan karena masuk lumpur,” kenang perempuan yang akrab disapa Butet (49) itu ketika berbincang dengan Kompas.com, Selasa (27/4/2021).

Waktu itu, Butet Manurung muda adalah antropolog di sebuah LSM konservasi.

Baca juga: Butet Manurung Pendiri Sokola Rimba Raih Penghargaan Magsaysay

Bertugas meneliti kehidupan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba, ia harus tinggal di hutan tiga pekan dalam sebulan.

Pekerjaan dengan aroma petualangan macam itu impian Butet sejak belia. Butet kecil suka bilang kepada ayahnya: ia ingin jadi Indiana Jones.

Rupanya, jadi Indiana Jones tak semudah yang tampil di layar kaca.

Dikejar beruang, Butet tak dibekali kepiawaian apa pun untuk berkelit selain lari kencang-kencang.

Sementara itu, Orang Rimba yang hanya bermodal cawat mampu kabur dengan tenang.

“Aku yang paling kayak badut, ketinggalan mulu, ditarik-tarik. Begitu selesai menyeberang sungai, mau masuk ke jalan kecil yang seperti jalan tupai, aku nabrak semak, topiku nyangkut, kantong nyangkut,” ungkap Butet.

“Mereka (Orang Rimba) bilang, ‘Aduh, kamu ini, kenapa kamu pakai pakaian seperti ini?’”

Baca juga: Kesabaran Siti Hajar di Balik Ratusan Ribu Angka Kasus Covid-19 Jakarta

Butet tertampar. Mengapa selama ini ukuran tentang apa yang baik harus mengacu standar kehidupan modern?

Cawat, yang sering dipandang pakaian primitif oleh orang-orang modern, rupanya teknologi canggih di sini.

Kemeja penuh kantong dan sepatu tinggi-besar itulah pakaian yang absurd.

Saur Marlina Butet Manurung, pendiri Sokola Institute, mengajar baca-tulis bagi masyarakat adat melalui Sokola Wailago di Nusa Tenggara Timur.Dok. Sokola Institute Saur Marlina Butet Manurung, pendiri Sokola Institute, mengajar baca-tulis bagi masyarakat adat melalui Sokola Wailago di Nusa Tenggara Timur.
Di pedalaman Jambi ini, Butet juga mengajar baca-tulis-hitung kepada anak-anak Rimba.

Sebenarnya, buta huruf bukan masalah selama kehidupan adat menggelinding seperti biasa.

Kepandaian berburu toh dapat diwariskan tanpa tulisan.

Namun, belantara ini mulai diintervensi dunia luar.

“Setiap kali bertemu dengan pemerintah, berantem dengan perusahaan, mereka (Orang Rimba) selalu diwakili orang lain. Kenapa mereka tidak bisa ngomong sendiri? LSM orangnya berganti, negara orangnya berganti, siapa yang bisa mereka percaya?” tutur Butet.

Butet memasang target: dalam setahun, 100 Orang Rimba ia ajari baca-tulis-hitung. Ia serius dengan misinya.

Masalahnya, Orang Rimba tak semudah itu percaya kepada “Orang Terang”—orang yang dari luar rimba.

Baca juga: Rika Andiarti, Penerus Semangat Kartini yang Bergelut di Dunia Penerbangan dan Antariksa

Orang Terang sering datang meminta cap jempol mereka di atas surat yang tak mereka tahu apa isinya. Tahu-tahu, hutan mereka ditebang.

Itu sebabnya, pensil atau pena kemudian dijuluki “Setan Bermata Runcing”. Dan Butet bertandang membawa “setan” itu beserta ilmunya.

Butet berulang kali diusir. Bukan hanya karena mengajari ihwal tulis-menulis, Orang Rimba yang jauh lebih dulu mengenal konsep karantina pendatang untuk mencegah masuknya wabah, pernah memintanya pergi karena dituding membawa penyakit.

Lagipula, siapa Butet ini? Bukankah dia, seperti Orang-orang Terang lain, boleh jadi punya maksud terselubung? Akhirnya, Orang Rimba selalu mencari alasan mengusir Butet. 

Tetapi, Butet juga senantiasa punya alasan buat kembali dan mengajar.

Hasrat Butet yang awalnya didorong oleh cita-cita menjadi Indiana Jones, mulai beralih rupa jadi sebentuk rasa sayang kepada Orang Rimba.

Baca juga: Nursyahbani Katjasungkana, Perempuan dalam Perjuangan Reformasi 1998

Ia sampai dipandang aneh. Tinggal di kota saja, menurut Orang Rimba, sudah aneh; ditambah pula orang ini tak kunjung kapok diusir dan malah mau berbagi kehidupan dengan mereka.

“Bukan aku saja yang penasaran dengan mereka, mereka juga penasaran sama aku,” kata Butet yang sudah 1,5 tahun terakhir tinggal di Australia.

Niat mulia dan ketulusan yang terpancar darinya perlahan dipahami Orang Rimba.

"Ibu Guru Butet", demikian ia lantas dijuluki, lambat-laun diterima secara utuh-seluruh.

Jelang tahun keduanya di Rimba, murid-murid Butet sudah nyaris 200 orang. Atas pencapaian ini, ia diajak bicara oleh tumenggung—kepala suku.

“Butet, sudah ratusan murid kamu, yang kamu selalu bilang pintar. Tidak satu pun dari mereka yang bisa mengusir logging (pembalakan hutan). Ngomong saja tidak bisa, tidak berani, tidak mengerti,” ucap Butet menirukan pesan tumenggung saat itu, tentu dalam bahasa lokal.

“Itu aku merasa sangat malu. Jadi sebenarnya apa yang aku lakukan di sini?”

Mata yang terbuka

Peristiwa demi peristiwa di Rimba menyadarkan Butet satu hal penting: pendidikan harus sejalan dengan tantangan hidup.

Bagi anak-anak Rimba, tahapan usia mereka diisi dengan mengenali daun-daun obat, belajar memanen madu, sebelum melatih kemahiran berburu.

Di kampung-kampung tepi laut, tahapannya mungkin lain lagi, karena tantangan hidupnya pun beda.

Ini sebabnya, masyarakat adat kerap tak berjodoh dengan sekolah formal.

Bagi Orang Rimba, misalnya. Sekolah formal lebih terasa seperti “sekolah pergi”.

Anak-anak tercabut dari akar identitasnya, rontok kemampuannya bertahan hidup di belantara, sebelum akhirnya terbuai dengan panji-panji kemewahan ala perkotaan—karier cemerlang, menimbun banyak harta—dan tak lagi kembali ke hutan.

Baca juga: Nurmaya, Perempuan Penderma Nasi Bungkus dan Cerita Kejutan-kejutan yang Mengiringinya

Butet memutuskan pamit dari kantor usai empat tahun bekerja. Ia merasa perlu berbuat lebih dari sebatas menyusun rekomendasi kebijakan kepada pemerintah mengenai Orang Rimba.

Bila pemerintah tak mampu membuat sekolah yang sesuai kebutuhan Orang Rimba, bukankah kita bisa menciptakannya sendiri?

Kalau tak ada yang bisa melindungi Orang Rimba dari perambah hutan, mengapa tidak kita mampukan saja mereka melawan dan melindungi diri sendiri?

Sokola Rimba kemudian lahir pada 2003, dibidani oleh Butet dan empat koleganya. Kisah jatuh-bangunnya belakangan difilmkan Riri Riza dan Mira Lesmana lewat Sokola Rimba (2013).

Di Sokola Rimba, ilmu baca-tulis-hitung bukan bertujuan mengganti ilmu-ilmu adat yang sudah ada, melainkan sebagai ilmu tambahan dari “luar” untuk menanggapi situasi dari “luar” Rimba pula.

Baca juga: Sosok Sylviana Murni, Wali Kota Perempuan Pertama di Jakarta hingga Lolos Jadi Anggota DPD RI

Baca-tulis-hitung adalah gerbang awal bagi pengetahuan-pengetahuan lain yang kelak memungkinkan Orang Rimba menjawab masalah di luar hutan, semisal, membeli sesuatu di pasar atau bahkan mengusir pencuri kayu.

“Banyak orang (perambah hutan) tidak main-main kalau berhadapan dengan Orang Rimba. Mereka mengerti, mereka akan bilang, ‘Aku panggil nih Sawit Watch, Corruption Watch, atau Walhi’,” ujar Butet yang menghabiskan 9-10 tahun di Makekal Hulu, Bukit Duabelas itu.

Pendidikan yang memerdekakan

Saur Marlina Butet Manurung, pendiri Sokola Institute, membuka sekolah alternatif Sokola Sumba bagi masyarakat adat di Sumba, Nusa Tenggara Timur.Dok. Sokola Institute Saur Marlina Butet Manurung, pendiri Sokola Institute, membuka sekolah alternatif Sokola Sumba bagi masyarakat adat di Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Kini, Sokola bukan hadir di pedalaman Jambi saja.

Sokola, kata Butet, berupaya hadir di komunitas adat yang: 1) dirugikan akibat buta huruf; 2) terancam pranata sosial dan sumber daya alamnya oleh dunia luar; dan 3) masyarakatnya masih menyayangi adatnya.

Hingga sekarang, Sokola hidup di 17 komunitas adat, dari pegunungan sampai pesisir, dari wilayah yang kering sampai berlimpah air.

Apa yang jadi pokok ajar otomatis berlainan di masing-masing tempat. Tidak ada urgensi untuk menyeragamkan keberagaman itu.

Butet menyebutnya "kurikulum hadap masalah”.

Jika di Jambi, Sokola Rimba memampukan masyarakat adat melawan pencuri kayu, maka di Sokola Pesisir masyarakatnya dibuat melek kiat menghadapi pengebom ikan.

"Aku hanya memberi prinsipnya saja bahwa, 'Kamu punya hak atas tanah ini',” kata Butet.

Baca juga: Mengenal Sumi Hastry Purwanti, Polwan Pertama yang Jadi Dokter Forensik

Pendidikan yang memerdekakan semacam inilah yang mustahil diakomodasi oleh program seperti kurikulum nasional yang terobsesi dengan skor dan keseragaman.

Melawan perambah hutan, atau memaksimalkan hasil panen rumput laut, tentu tak bisa ditolong dengan ingatan rumus fisika atau hafalan tabel periodik.

Indonesia jelas terlalu luas dan berwarna untuk dipaksa mengikuti standar Jakarta dan kota-kota besar.

“Kita menghargai Bhinneka Tunggal Ika, tapi kurikulumnya seragam. Itu tidak mungkin,” ungkap Butet.

"Kalau model pendidikan kita seragam, wajar orang di Papua jadi kayak orang di Jakarta, inginnya cari duit, identitas tidak penting lagi. Murid-murid aku di Rimba, tidak ada yang meninggalkan Rimba,” tukasnya.

Baca juga: Kisah Ratu Tisha, Masuk di Pusaran Sepak Bola Tanah Air hingga Dobrak Tradisi

Begawan pemikir pendidikan dunia asal Brasil, Paulo Freire, jauh-jauh hari telah mewanti-wanti bahayanya pendidikan yang tidak peka terhadap konteks lokal.

Menurutnya, "seseorang tidak bisa berharap dampak baik dari pendidikan yang gagal menghargai sudut pandang masyarakat tertentu." 

“Pendidikan seperti itu adalah invasi kebudayaan, meski mulanya dimaksudkan sebagai niat baik," tulis Freire dalam magnum opus-nya, Pedagogy of The Oppresed (1970).

Sejak awal, lewat pendidikannya, Sokola bukan bermaksud memodernkan masyarakat adat.

Anak-anak dapat belajar di mana saja, dalam kondisi mana-suka, dengan maupun tanpa seragam atau alas kaki.

Namun, Sokola juga bukan berniat memuseumkan masyarakat adat dalam jampi-jampi eksotisme kehidupan tradisional.

Sekolah yang sudah bisa bergerak sendiri bahkan tak perlu lagi bergantung pada Sokola.

Sokola Kaki Gunung di lereng Gunung Argopuro, Jember, Jawa Timur, misalnya, pada 2020 lalu sudah diambil-alih oleh masyarakat setempat.

Baca juga: Perjalanan Irene Sukandar Menjadi Grand Master Indonesia, Bermula dari Ambisi Kalahkan Sang Kakak

Sokola cuma berniat membuka mata masyarakat adat yang mungkin buta cara menghadapi tantangan dari luar, gara-gara mereka buta huruf.

Selepas itu, biarkan, kata Butet, masyarakat adat merdeka memilih nasibnya sendiri dengan mata terbuka.

Toh, pendidikan, atau education dalam bahasa Inggris, berakar dari kata Latin educat atau educere yang berarti "dipimpin/memimpin keluar".

Dari etimologinya saja, pendidikan telah mengandung pesan pembebasan dan kemerdekaan.

“Ketika mereka (Orang Rimba) mengadopsi motor dan handphone, aku sempat sedih. Sampai kupikir, kenapa aku harus seperti itu? Itu seperti orang jatuh cinta sama orang, tapi ingin menyetirnya,” kata dia.

“Mereka pun tahu risiko mengadopsi beberapa hal dari kota. Sampai sekarang, mereka (Orang Rimba) tidak mau listrik. Melihat itu, aku bangga mereka punya filter dan keputusan yang percaya diri, ‘Saya tidak mau listrik, saya mau handphone. Saya mau universitas, tapi untuk jadi pengacaranya Orang Rimba’,” ujar perempuan yang menamatkan S2 Antropologi Terapan di Australia National University itu.

Pendidikan untuk kehidupan, hidup untuk mendidik

Saur Marlina Butet Manurung, kelak mendirikan Sokola Institute, mengajari baca-tulis anak-anak Suku Anak Dalam di Jambi.Aulia Erlangga Saur Marlina Butet Manurung, kelak mendirikan Sokola Institute, mengajari baca-tulis anak-anak Suku Anak Dalam di Jambi.
Beberapa anak Rimba kini memiliki akun media sosial, tapi bukan berarti setiap hari mereka dapat berbincang secara virtual dengan Ibu Guru Butet.

Seperti Butet bilang, tidak ada anak-anak Rimba yang meninggalkan hutan, sekalipun ada di antara mereka yang bahkan sudah menang penghargaan film tingkat internasional.

“Mereka harus keluar Rimba dulu (untuk WhatsApp-an),” ujar Butet, mengaku rindu nian dengan Rimba dan masyarakatnya.

Meski kini dirinya jauh dan pagebluk Covid-19 seperti tak berkesudahan, tetapi ia bersyukur, program-program Sokola dapat terus berlangsung.

Sokola, yang sejak 2016 berubah nama Sokola Institute dan bercita-cita jadi lokus riset tentang masyarakat adat, seperti diberkahi dengan relawan-relawan hebat.

Baca juga: Kapten Fierda Panggabean dan Tragedi Merpati CN-235 di Gunung Puntang

Relawan adalah ujung tombak pendidikan Sokola. Mereka diharuskan tinggal di tengah komunitas adat, alias live in, selama minimum dua tahun. Dua tahun! Metode inilah yang kelak membawa mereka peka terhadap perspektif lokal.

“Tidak mudah sebenarnya," ujar Butet, "Mereka (relawan) harus belajar bahasa lokal."

“Mereka selalu mendapat shock culture, biarpun sudah digembleng, karena cara hidup, bahasa, hilang sinyal, putus pacar. Walaupun dia sering ke gunung, tapi pernahkah ke gunung sebulan? Kan tidak. Ini malah dua tahun," ucapnya.

Pada akhirnya, relawan-relawan Sokola mampu bertahan karena, laiknya Butet dulu, mereka menemukan zona nyaman di tengah-tengah masyarakat adat.

Tak terbersit kegalauan lantaran telah melepas kemapanan ala hidup modern.

“Aku dulu takut membayangkan kerja di Sudirman,” aku Butet geli.

“Awalnya aku juga shock culture, tapi lama-lama terbawa mereka (orang Rimba). Kita belajar sambil selonjoran, menunjuk papan tulis pakai kaki. Gila, enak banget. Aku beruntung banget bisa punya pekerjaan seperti ini.”

Baca juga: Ruhana Kuddus, Wartawati Pertama yang Gencar Menentang Poligami, Nikah Dini dan Dominasi Laki-laki

Atas usahanya meningkatkan kualitas hidup masyarakat adat, Butet diganjar Ramon Magsaysay Award, penghargaan yang dianggap Hadiah Nobel versi Asia, pada 2014.

Sepuluh tahun sebelumnya, majalah TIME mendapuknya sebagai Heroes of Asia 2004.

Masih ada gelar-gelar lain yang tak kalah prestise, tetapi bagi ibu dua anak itu, penghargaan-penghargaan semacam itu hanya bonus. Ia tak pernah mendambakan itu semua.

Mimpinya, lagi-lagi, hanya jadi Indiana Jones. Sekarang, mimpi itu bertambah: memerdekakan masyarakat adat dari pembodohan dan pemiskinan.

“Cuma itu yang membuatku bahagia. Aku tidak melihatnya sekadar senang, tapi itu pekerjaan yang juga penting,” tutur Butet, setelah menertawai masalah pendanaan yang dianggapnya masalah abadi tetapi senantiasa membuatnya bersyukur.

Ia masih berharap, Sokola dapat direplikasi oleh banyak gerakan lain sehingga masyarakat adat yang didampingi semakin banyak.

Walaupun Sokola telah menjangkau lebih dari 10.000 orang adat, tetapi itu bukan tolok ukur keberhasilan, ujar Butet.

Jumlah itu juga tak banyak berarti karena faktanya, ada jutaan masyarakat adat di Indonesia.

Jutaan masyarakat adat itu bertahan hidup dari alam tempatnya tinggal—tanah ulayat yang mungkin bakal dilibas oleh dalih pembangunan, baik atas nama ekspansi perkebunan sawit, bisnis pertambangan, atau industri pariwisata. Kecil peluang mereka menang dari ancaman itu bila buta huruf.

Baca juga: Kisah Bintarti, Perempuan di Balik Perawatan Puluhan Ribu Taksi Blue Bird

Bagi Butet, Sokola baru dapat disebut berhasil bila sanggup mengubah arah kurikulum nasional, dari yang kini satu arah dengan kacamata kuda Jakarta, menjadi kurikulum pendidikan yang dialogis dan memerdekakan.

Cita-cita soal pendidikan yang memerdekakan semacam ini dulu adalah juga gagasan RA Kartini.

Sekolah perempuan yang dicita-citakan Kartini sejak lama akhirnya berdiri di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang, setelah pernikahannya dengan KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat pada 1903.

Setahun setelah pernikahannya, Kartini melahirkan Soesalit Djojoadiningrat. Empat hari kemudian, ia meninggal dunia di usia 25 tahun.

Kartini tak bisa lama menikmati mimpi yang ia wujudkan susah-payah dengan mendobrak sekat-sekat kaku patriarki dan feodalisme dalam keluarga.

Baca juga: Fakta Menarik Irene Sukandar: Ambisi Kalahkan Kakak, Keliling Pasar Latih Mental, dan Karier Cemerlang

Butet, ketika melahirkan Sokola, memang tak dibatasi oleh orangtua laiknya Kartini.

Namun, Butet sudah menerobos batas yang lain, yaitu anggapan umum bahwa masyarakat adat adalah masyarakat terbelakang yang harus membebek pada modernitas jika ingin dipandang maju dan beradab.

Sebagaimana Kartini yang, meski hanya sebentar, menemani sekolah impiannya hingga akhir hayat, begitu pun Butet berharap.

“Sampai kapan, ya, sampai aku mati. Sokola itu hidupku. Itu bayiku,” kata Butet.

Bayi itu kini telah berusia 17 tahun dan bisa berjalan sendiri.

“Aku yakin, aku tidak ada pun, Sokola bisa jalan. Bukan Sokola butuh aku, aku yang butuh Sokola,” ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota, Ahok : Harusnya Tidak Ada Pengangguran

Soal Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota, Ahok : Harusnya Tidak Ada Pengangguran

Megapolitan
Keterlibatan 3 Tersangka Baru Kasus Tewasnya Taruna STIP, dari Panggil Korban sampai 'Kompori' Tegar untuk Memukul

Keterlibatan 3 Tersangka Baru Kasus Tewasnya Taruna STIP, dari Panggil Korban sampai "Kompori" Tegar untuk Memukul

Megapolitan
Puncak Kasus DBD Terjadi April 2024, 57 Pasien Dirawat di RSUD Tamansari

Puncak Kasus DBD Terjadi April 2024, 57 Pasien Dirawat di RSUD Tamansari

Megapolitan
Ahok : Buat Tinggal di Jakarta, Gaji Ideal Warga Rp 5 Juta

Ahok : Buat Tinggal di Jakarta, Gaji Ideal Warga Rp 5 Juta

Megapolitan
Ahok: Saya Mendorong Siapa Pun yang Jadi Gubernur Jakarta Harus Serahkan Nomor HP Pribadi ke Warga

Ahok: Saya Mendorong Siapa Pun yang Jadi Gubernur Jakarta Harus Serahkan Nomor HP Pribadi ke Warga

Megapolitan
Susul PKS dan Golkar, Partai Nasdem Gabung Koalisi Usung Imam-Ririn di Pilkada Depok 2024

Susul PKS dan Golkar, Partai Nasdem Gabung Koalisi Usung Imam-Ririn di Pilkada Depok 2024

Megapolitan
Masih Ada 7 Anak Pasien DBD yang Dirawat di RSUD Tamansari

Masih Ada 7 Anak Pasien DBD yang Dirawat di RSUD Tamansari

Megapolitan
Viral Video Sekelompok Orang yang Diduga Gangster Serang Warga Bogor

Viral Video Sekelompok Orang yang Diduga Gangster Serang Warga Bogor

Megapolitan
PKS dan Golkar Berkoalisi, Dukung Imam Budi-Ririn Farabi Jadi Pasangan di Pilkada Depok

PKS dan Golkar Berkoalisi, Dukung Imam Budi-Ririn Farabi Jadi Pasangan di Pilkada Depok

Megapolitan
Cerita Pinta, Bangun Rumah Singgah demi Selamatkan Ratusan Anak Pejuang Kanker

Cerita Pinta, Bangun Rumah Singgah demi Selamatkan Ratusan Anak Pejuang Kanker

Megapolitan
Soal Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota, Ahok: Jangan Hanya Jadi Kota Besar, tapi Penduduknya Tidak Kenyang

Soal Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota, Ahok: Jangan Hanya Jadi Kota Besar, tapi Penduduknya Tidak Kenyang

Megapolitan
Jukir Minimarket: Kalau Dikasih Pekerjaan, Penginnya Gaji Setara UMR Jakarta

Jukir Minimarket: Kalau Dikasih Pekerjaan, Penginnya Gaji Setara UMR Jakarta

Megapolitan
Bakal Dikasih Pekerjaan oleh Pemprov DKI, Jukir Minimarket: Mau Banget, Siapa Sih yang Pengin 'Nganggur'

Bakal Dikasih Pekerjaan oleh Pemprov DKI, Jukir Minimarket: Mau Banget, Siapa Sih yang Pengin "Nganggur"

Megapolitan
Bayang-bayang Kriminalitas di Balik Upaya Pemprov DKI atasi Jukir Minimarket

Bayang-bayang Kriminalitas di Balik Upaya Pemprov DKI atasi Jukir Minimarket

Megapolitan
Kala Wacana Heru Budi Beri Pekerjaan Eks Jukir Minimarket Terbentur Anggaran yang Tak Dimiliki DPRD...

Kala Wacana Heru Budi Beri Pekerjaan Eks Jukir Minimarket Terbentur Anggaran yang Tak Dimiliki DPRD...

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com