JAKARTA, KOMPAS.com - Nama Nursyahbani Katjasungkana tak asing di dunia aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), terutama menyoal hak perempuan.
Nur, begitu ia disapa, sempat menjabat sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum APIK, sebuah lembaga yang menyediakan asistensi hukum bagi perempuan yang mengalami ketidakadilan, kekerasan dan berbagai bentuk diskriminasi.
Perempuan kelahiran 7 April 1955 ini aktif di berbagai organisasi yang mengadvokasi HAM dan hak perempuan.
Pada 1998, Nur merupakan salah satu perempuan aktivis reformasi.
Baca juga: Nursyahbani Katjasungkana Ditunjuk Jadi Pengacara Abraham Samad
Kepada Kompas.com, Nur menceritakan pengalamannya 23 tahun silam, termasuk kesulitan yang harus ia hadapi sebagai perempuan ketika berjuang.
Konsolidasi di tengah kerusuhan
Menurut Nur, perjuangan perempuan di tahun 1998 dimulai dari gerakan Suara Ibu Peduli di 23 Februari 1998. Nur dan LBH APIK terlibat dalam gerakan yang memprotes kenaikan harga bahan pokok di Indonesia kala itu.
"Itu demo di depan Bundaran HI, kita mau bilang Soeharto sebagai Bapak Pembangunan kok gagal memberikan susu bagi anak-anaknya, metaforanya begitu, makanya memakai kata Ibu," ungkap Nur saat dihubungi Kamis (22/4/2021).
Tak hanya perempuan, demonstrasi mahasiswa juga marak terjadi di saat itu. Terutama setelah Sidang MPR pada Maret yang kembali menetapkan Soeharto sebagai presiden Indonesia.
Baca juga: Bela Dua Pimpinan Nonaktif KPK, Nursyahbani Katjasungkana Diteror Bom
Pada Mei 1998, Nur mengaku hanya bisa mengikuti isu dan demonstrasi mahasiswa dari jauh karena harus memberikan pelatihan tentang HAM di beberapa kota.
"Tanggal 9 (Mei) sudah ada demo besar, saya saat itu di Makassar, demo besar juga, bahkan saat mau ke tempat pelatihan harus jalan kaki," ungkap Nur.
Sekitar tanggal 13 Mei 1998, Nur harus memberi pelatihan di Kupang. Demonstrasi mahasiswa juga terjadi di sana.
"Tapi sebetulnya saya sudah janjian sama teman-teman bagaimana kita bisa join demo-demo itu, tapi mulai 12, 13, 14 (Mei 1998) pecah kerusuhan di Jakarta," kata Nur.
"Tapi saya tetap mau ikut rapat itu, tanggal 15 saya paksa pulang, cari tiket harus transit dulu," imbuhnya.
Tanggal 15 Mei pagi Nur berangkat pulang ke Jakarta untuk memenuhi janji rapat di sore harinya.
Baca juga: Kapten Fierda Panggabean dan Tragedi Merpati CN-235 di Gunung Puntang