Namun, menjelang malam, seorang rekannya yang biasa menjadi koordinator lapangan tiba-tiba mengubah keputusannya.
"Dia bilang mau jadi korlap, ya sudah dia yang jadi korlap untuk demonstrasi besok," kata Nur.
Perempuan yang melawan
Tanggal 18 Mei 1997, tepat pukul 10.00 WIB, dengan pakaian serba hitam dan bunga putih dan ungu yang sudah dipersiapkan sejak malam, Nur dan koalisi berkumpul di Kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta.
"Itu panas banget, lagi terik-teriknya. Kami di situ bawa bunga dan bawa poster 'Turunkan Soeharto!" kata Nur.
Nur dan kawan-kawan berjalan kaki hingga ke lokasi demonstrasi di Gedung DPR MPR, Senayan.
"Kita masuk ke Senayan, wah, tepuk tangan membahana kedatangan kelompok perempuan di Senayan," ungkapnya.
Baca juga: Kenalan dengan Bintarti, Kartini Bidang Teknik di Blue Bird
Nur langsung diberikan panggung untuk berpidato.
"Saat itu jargonnya 'Tungto', artinya gantung Soeharto. Saya bilang ada HAM, terhadap diktator kita enggak boleh kejam langsung gantung, harusnya turunkan Soeharto, adili Soeharto, jadi jargonnya diubah jadi turunkan Soeharto, adili Soeharto!"
Demonstrasi terus dilakukan Nur dan kawan-kawan hingga 22 Mei 1998.
"Tanggal 21 itu Soeharto sudah mengumumkan mundur. Tapi kita demo tanggal 22 karena tidak setuju Habibie yang naik menggantikan Soeharto," kata Nur.
Pasca-1998, Nur masih aktif terlibat dalam berbagai gerakan perempuan yang memperjuangkan HAM dan hak-hak perempuan.
"Sejarah pergerakan perempuan di Indonesia juga panjang, sudah dari dahulu kala. Saya harap perempuan Indonesia juga tidak melupakan sejarah. Karena sejarah pergerakan perempuan, kita bisa ada pada kondisi sekarang," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.