"Dari bandara mau ke rumah juga susah, nggak bisa lewat karena sudah kerusuhan itu," ungkar Nur.
Karena kerusuhan pecah, suasana pun tidak kondusif untuk melakukan rapat. Rapat pun ditunda ke tanggal 17 Mei.
"Itu kita di Metropole, kantornya Jurnal Perempuan, akhirnya bisa rapat di situ untuk konsolidasi. Di situ pertama-tama kita mengeluarkan pernyataan bahwa kita mendukung mahasiswa, reformasi, juga meminta Soeharto turun," kata Nur.
Di samping itu, Nur dan kawan-kawannya menghubungi sejumlah jaringannya. Sebanyak 75 perempuan berhasil dikumpulkan untuk membentuk Koalisi Perempuan Indonesia untuk Demokrasi dan Keadilan. Rencananya, koalisi ini akan ikut turun ke jalan pada demonstrasi 18 Mei 1998.
Siaga satu, kelompok perempuan dilarang turun ke jalan
Meski koalisi telah terbentuk, jalan mulus tak ditemui Nur dan kawan-kawan.
"Salah satu teman bilang, besok siaga satu, jadi sebaiknya kelompok perempuan enggak turun, waktu itu ketua BEM UI juga melarang kelompok perempuan untuk ikut," kata Nur.
Perdebatan pun terjadi, Nur dan perempuan lainnya bersikeras ingin ikut demonstrasi.
"Kita merasa insulted (terhina) ke teman-teman yang mengatakan perempuan enggak boleh turun," ungkap Nur.
Baca juga: Nurmaya, Perempuan Penderma Nasi Bungkus dan Cerita Kejutan-kejutan yang Mengiringinya
Tekad Nur dan kawan-kawan yang bulat berbuah hasil. Mereka pun mengikuti demonstrasi pada 18 Mei 1998 bersama mahasiswa dan elemen-elemen lainnya.
"Kesepakatannya kalau situasi enggak kondusif, kita tunggu di Pintu Senayan saja dengan membacakan statement kita dan konferensi pers," kata Nur.
Namun, kendala lain harus dihadapi Nur.
"Teman-teman yang biasa jadi korlap (koordinator lapangan) tiba-tiba 'saya mundur' karena situasi begitu, takut akan rusuh siaga satu," jelas Nur.
"Lalu saya bilang, oke kalau enggak ada yang jadi korlap, saya yang jadi korlap," tegas Nur.
Nur menginstruksikan koalisinya untuk membeli bunga berwarna putih dan ungu. Warna ungu sengaja dipilih karena melambangkan perjuangan perempuan.