Penangkapan mereka berdasarkan laporan tentang perbuatan tidak menyenangkan disertai ancaman kekerasan dan percobaan pencurian.
“Mendapatkan laporan terkait kejadian tersebut, kemudian Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Utara, AKBP Dwi Prasetyo Wibowo membentuk tim gabungan yang terdiri dari Unit Jatanras, Unit Resmob, dan Unit Reskrim Polsek Koja untuk mengungkap kasus ini,“ ujar Nasriadi saat dikonfirmasi, Minggu malam.
Baca juga: Polisi Tangkap 11 Debt Collector Pengadang Babinsa, 9 di Antaranya Ada di Video Viral
Adapun para pelaku berinisial GL, HL, JK, GYT, YA, JT, RS, FM, AM, DS, dan HL.
Nasriadi menambahkan, pihaknya masih mengejar satu debt collector lainnya yang terlibat.
"Dari hasil interograsi awal bahwa yang terdapat dalam video viral ialah atas nama DS, HL, HL, GL, JT, GT, dan YA,” ujar Nasriadi.
Nasriadi mengatakan, para debt collector ini mendapatkan kuasa dari PT. Anugrah Cipta Kurnia Jaya.
PT. Anugrah mendapatkan kuasa dari Clipan Finance.
“Lalu dari perusahaan tersebut, memberikan kuasa kepada saudara HL. Lalu HL memberitahukan kepada rekan-rekannya (para tersangka) untuk membantu proses penarikan,” ujar Nasriadi.
Menurut Nasriadi, para pemimpin dari kelompok debt collector ini ialah HL.
Polisi menyita sejumlah barang bukti berupa empat rekaman video yang viral, satu unit iPhone 6S, tujuh pasang baju, celana, dan helm yang digunakan oleh para tersangka, tiga motor, visum korban, mobil Mobilio nomor polisi B 2683 BZK warna putih, dan surat kuasa penarikan mobil dari Clipan Finance kepada PT. Anugrah Cipta Kurnia Jaya.
Penyidik Polres Metro Jakarta Utara kemudian memeriksa para debt collector.
Ancaman hukuman penjara untuk para debt collector tercantum pada Pasal 335 ayat (1) dan Pasal 53 Jo 365 KUHP.
“Pasal (yang disangkakan) 335 ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 1 tahun dan Pasal 53 Jo 365 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 9 tahun,” ujar Nasriadi.
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan perusahaan kreditur (leasing) tidak bisa menarik atau mengeksekusi obyek seperti kendaraan atau rumah secara sepihak.
Pada 6 Januari 2020, MK menyatakan, perusahaan kreditur harus meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri terlebih dahulu.