1. Undang–Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2. Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut “UU 23/ 2014”).
Dua dasar hukum tersebut di atas apakah “memiliki kompetensi” dalam penetapan upah minimum suatu daerah?
Tidak ada satu pun pasal dalam kedua UU tersebut yang mengatur detail mengenai upah minimum.
Menurut Penulis, tidak adanya PP 36/2021 dalam dasar hukum penetapan Kepgub 1517/ 2021 adalah kunci ketidakpastian yang terjadi.
Presiden KSPI Said Iqbal sebelumnya menyampaikan, "pengupahan adalah kebijakan yang strategis. Jadi keputusan revisi UMP DKI Jakarta tidak salah. Sehingga PP Pengupahan tidak masuk dalam pertimbangan penetapan upah DKI Jakarta. Jadi, tidak perlu mengikuti pemerintah pusat." (Kontan.co.id, 29 Desember 2021)
Menanggai hal tersebut, Penulis juga perlu ingatkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PPU-XVIII/2020 pada prinsipnya menyatakan, untuk saat ini UU Cipta Kerja masih berlaku.
Selain itu, dalam Putusan MK tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh regulasi pelaksana UU Cipta Kerja yang sudah keluar sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PPU-XVIII/2020 masih berlaku, termasuk PP 36/ 2021.
Dengan demikian, mestinya PP 36/2021 masih menjadi dasar pengupahan bagi DKI Jakarta. Sama seperti daerah lain yang tetap menerapkan PP 36/2021 sebagai dasar hukum pengupahan daerah tersebut.
Keempat, Kepgub 1517/2021 tidak memandang bahwa kebijakan pengupahan adalah bagian dari Program Strategis Nasional.
Pemprov DKI Jakarta yang tidak menetapkan PP 36/2021 sebagai dasar hukum tentu juga berdampak bahwa bagi DKI Jakarta, pengupahan bukan sebagai program strategis nasional.
Hal tersebut merupakan pandangan seorang diri saja, berbeda dengan pandangan daerah lain.
Pasal 68 ayat (1) UU 23/ 2014 maupun Pasal 38 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah telah menentukan bahwa Setiap Kepala Daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional dapat dikenakan Sanksi Administratif secara bertahap, yaitu :
- Teguran tertulis;
- Teguran tertulis kedua;
- Pemberhentian sementara selama 3 (tiga) bulan; dan/ atau
- Pemberhentian.
Kelima, di mana hierarki keputusan gubernur dalam tata perundang-undangan?
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut “UU 12/ 2011”) sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut “UU 15/ 2019”) sebagai berikut :
“(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.