Candrian menyebutkan, Daan mengganti lebih dari 130 nama jalan menggunakan bahasa Indonesia.
Penggantian itu efektif mulai 1 Maret 1950 yang berbarengan dengan perubahan akta, nomenklatur, alamat resmi, dan lainnya.
”Saya tak tahu ada momentum apa pada 1 Maret itu. Dari 130 jalan itu, penggantiannya, antara lain Waltevreden menjadi Gambir, Meester Cornelis menjadi Jatinegara, Batavia menjadi Jakarta Kota," katanya.
Lebih jauh, pergantian nama jalan atau tempat sudah berlangsung sejak pendudukan Jepang untuk tujuan politis, yakni merangkul seluruh Indonesia.
Namun, pergantian tersebut tak berbarengan dengan perubahan nomenklatur dan lainnya.
Baca juga: Ketua DPRD DKI Sebut Perubahan Nama Jalan di Jakarta Tak Dikonsultasikan Terlebih Dahulu
Candrian mencontohkan Jalan Noordwijk yang sekarang menjadi Jalan Juanda di Jakarta Pusat.
Pada masa Jepang, sempat bernama Jalan Nusantara. Perubahan menjadi Jalan Juanda terjadi pada 1963 setelah Juanda ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
”Keputusan pergantian nama setelah tahun 1950 cenderung politis. Contohnya, Jalan Sultan Agung di Jakarta Selatan, sebelumnya Jalan Jan Pieterzoon Coen. Pergantian karena Sultan Agung yang melawan VOC,” katanya.
VOC merupakan perusahaan multinasional pertama di dunia yang menguasai dua pertiga lingkaran bumi dari Eropa, Afrika Barat, Afrika Selatan, India, Sri Lanka, Nusantara, Taiwan, dan Dejima di Nagasaki.
Contoh lain pergantian nama jalan karena politis terjadi tahun 1960-an.
Candrian mengatakan, Presiden Soekarno mengganti nama Jalan Angkasa di Jakarta Pusat menjadi Jalan Patrice Lumumba, pejuang kemerdekaan Kongo di Afrika.
Nama terakhir berganti lagi ke nama semula saat pemerintahan Presiden Soeharto.
Baca juga: Warga Condet Tolak Pergantian Nama Jalan Budaya Jadi Jalan Entong Gendut
Pergantian nama jalan dengan tokoh lokal mulai muncul tahun 1990-an.
Menurut Candrian, gubernur ingin merangkul warga dengan pemakaian nama tokoh lokal, terutama dari Betawi.
Misalnya, landasan pacu Bandara Kemayoran menjadi Jalan Benyamin Suaeb di Jakarta Pusat. Kemudian Jalan Haji Naim di Jakarta Selatan sebagai salah satu tuan tanah.