JAKARTA, KOMPAS.com - Hunian semipermanen atau bedeng di Kampung Bambu, Tanjung Priok, Jakarta Utara, kini rata dengan tanah. Namun, di antara sisa-sisa bedeng yang telah dibongkar, masih berdiri tiga hunian milik warga yang menolak uang kerahiman.
Puji Lestari (58), salah satu warga Kampung Bambu, mengaku tetap bertahan dari pembongkaran bangunan liar di sekitar rel kereta oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Puji mempertahankan hunian bedeng di dekat Jakarta International Stadium (JIS) itu karena menolak jumlah uang kerahiman yang ditawarkan.
"Saya belum sepakat dengan nominal yang ditawarkan untuk pembongkaran, jadi menolak untuk dibongkar," ujar Puji saat ditemui Kompas.com di Kampung Bambu, Senin (17/10/2022).
Baca juga: Kala Warga Kampung Bambu Berharap Uang Kerahiman Lebih Manusiawi agar Mau Digusur PT KAI
Puji berkeberatan dengan jumlah yang ditawarkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) kepadanya.
Adapun dia ditawari uang kerahiman sebesar Rp 5 juta sebagai kompensasi pembongkaran bedeng.
"Yang ditawarkan dari PUPR Rp 5 juta, mau untuk apa uang segitu? Cucu saya saja masih sekolah, kami kesulitan," kata dia.
Puji yang sebelumnya berdagang untuk mencari nafkah, terpaksa menutup warung kelontong miliknya. Sebab, tak ada lagi aktivitas warga di kampung itu.
"Pokoknya aktivitas sudah enggak berjalan, rugi semuanya, saya juga jadi enggak dagang, cucu saya sekolahnya juga telantar," ucap Puji.
Baca juga: Siapa yang Menggusur Bedeng Warga di Dekat JIS, Pemprov DKI atau PT KAI?
Puji dan dua tetangga lainnya harus gelap-gelapan saat malam, lantaran aliran listrik di rumahnya telah dicabut.
Tak ada lagi yang bisa dia lakukan usai pembongkaran dilakukan oleh PT KAI pada Selasa (11/10/2022) lalu.
"Lampu padam, aktivitas kami jadi terganggu, pekerjaan terganggu. Bahkan sekolah cucu saya pun terganggu," sebut dia.
"Sudah berapa malam saya pakai lilin, kalau malam banyak nyamuk. Dari hari Selasa sudah mati lampu," tambah Puji.
Baca juga: Belum Direlokasi ke Rusun, Warga Kampung Bayam Kini Tinggal di Pinggir Jalan
Selain hidup tanpa listrik, warga yang bertahan pun kesulitan mencari tempat tidur. Mereka harus berdesak-desakan, bahkan tidur di luar bedeng.