Biasanya, untuk barang berat seperti beras dan pupuk, dihitung per tonase atau berat muat kapal. Sedangkan, untuk barang kebutuhan sehari-hari, dihitung per mobil bak terbuka.
"Ya tergantung barangnya. Tonase (per ton) Rp 8.500, kalau kelontong per mobil Rp 20.000. Tonase itu barang berat, kayak pupuk, beras. Kalau dus, itu masuknya kelontong," kata Wahyu (20) tentang upah bongkar muatan.
Pendapatan lain juga didapatkan dari sopir truk hingga gaji harian yang bersumber dari mandor.
Rugi besar
Namun, mereka harus gigit jari ketika musim hujan tiba dan mengguyur wilayah tersebut.
Saat hujan turun, kuli angkut akan rugi karena barang yang seharusnya bisa terangkut ke dalam kapal menjadi terhambat.
"Rugilah (kalau musim hujan). Otomatis kan jadi enggak bisa kebongkar barangnya, kan ditutup," ungkap Wahyu.
"Iya rugi, buruh rugi, bos juga rugi. Soalnya enggak ada pemasukan. ABK juga rugi. Semuanya gitu lumpuh kalau hujan. Jangankan hujan gede, gerimis saja, mendung deh, sudah, enggak bisa," timpal Arga.
Saking awetnya hujan, mereka sempat hanya mengantongi uang senilai Rp 20.000 untuk satu hari. Angka tersebut tidak sepadan dengan tenaga yang mereka keluarkan.
Asuransi kecelakaan dan THR
Mereka tidak menampik bahwa bekerja kuli angkut memiliki risiko kecelakaan yang cukup tinggi.
Meski begitu, Arga yang sudah bekerja menjadi kuli angkut selama 3,5 tahun terakhir ini memastikan bahwa profesinya ini memiliki asuransi kecelakaan selain BPJS.
Arga yang sempat mengalami kecelakaan kecil pun tidak mengeluarkan biaya apa pun karena semuanya ditanggung asuransi.
“Ada, di sini ada juga (asuransi kecelakaan dalam bekerja). BPJS juga ada, kartu Pas juga. Itu kartu anggota buruh, jadi kami resmi di sini,” ucap Arga.
“Iya, kalau ada kecelakaan. Kami juga ada uang kas juga. Kami misalnya tiap hari bayar uang kas, nanti setahun sekali dibagikan kepada kami,” sambungnya.