"Iya, benar (perlu ada revisi aturan), itu terkait dengan tata kelola pemberantasan narkoba," ungkap Bambang.
Selama ini, kata Bambang, ada dua lembaga yang mengatur tata kelola kasus narkoba, yakni BNN dan Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri.
Bambang menyarankan, barang bukti narkoba tidak dipegang penyidik polisi dan tidak disimpan Satuan Tahanan dan Barang Bukti (Tahti) kepolisian, melainkan diserahkan ke BNN.
"BNN sendiri itu kan harus ada tempat penyimpanan barang bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, yang aman, yang tidak disimpan oleh penyidik Polri sendiri, yang akhirnya bisa dimainkan seperti yang terjadi saat ini," tutur Bambang.
Baca juga: Potret Kultur Siap Jenderal pada Kasus Teddy Minahasa Bikin Polisi Lebih Taat Atasan daripada Aturan
Bambang menilai, sudah seyogianya barang bukti narkoba diserahkan kepada lembaga lain yang memiliki fungsi pengawasan, termasuk BNN.
Jadi, apabila terjadi penyelewengan, polisi dapat memperkarakan pihak lembaga yang melakukannya.
"Kalau ingin serius melakukan pembenahan terkait pemberantasan narkoba, ini tidak sekadar mengevaluasi kepolisian, tapi juga terkait dengan tata kelola pemberantasan itu," ucap Bambang.
Di samping penegakan aturan, faktor profesionalisme dan idealisme anggota kepolisian juga memegang peran penting untuk mencegah penyalahgunaan barang bukti.
Dalam kasus Teddy Minahasa, tak bisa dipungkiri bahwa ada relasi antara senior-junior atau atasan-bawahan.
Alhasil, anak buah Teddy, misalnya AKBP Dody Prawiranegara dan polisi lain di bawahnya, ikut terlibat bahkan membantu peredaran narkoba.
"Iya, memang fakta itu yang terjadi. Terkait dengan kultur yang militeristik, taat pada atasan, 'siap jenderal', itu kan masih melekat di kepolisian," ujar Bambang.
Kondisi ini dipengaruhi adanya kecenderungan bawahan atau junior segan menolak perintah atasan. Budaya ini telah terbentuk sejak lama, bahkan sudah dipupuk ketika anggota mengenyam pendidikan di akademi.
Kedekatan antara senior dengan junior, kata Bambang, juga kerap menentukan apakah seorang anggota kepolisian dapat dipromosikan untuk naik jabatan.
"Karena sering kali promosi-promosi jabatan relatif hanya berdasarkan kedekatan. Kedekatan tidak melalui merit sistem yang mengedepankan kompetensi, kualitas," papar Bambang.
"Makanya dalam kesaksian Teddy Minahasa, pernah juga terungkap bahwa penjualan sabu itu untuk promosi AKBP Dody. Seperti itu kan untuk membiayai," lanjut dia.
Baca juga: Kasus Teddy Minahasa dan Kultur Senior-Junior di Polri yang Sulit Hilang...
Hal senada disampaikan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso.
Menurut Sugeng, junior atau bawahan cenderung acapkali tak berani menolak perintah senior karena khawatir tersingkirkan.
Situasi ini bahkan membuat para junior atau bawahan menyampingkan kesadaran bahwa perintah yang diberikan merupakan pelanggaran, bahkan tindak pidana.
"Kalau tidak mau mengikuti aturan main dari pimpinannya atau seniornya biasanya akan tersingkir, tidak akan mendapatkan suatu penugasan, tidak akan mendapatkan promosi," tutur Sugeng.
Menurut Sugeng, budaya relasi tersebut tidak dapat dihilangkan dari tubuh Polri, selama tak ada sikap independensi dan profesionalisme dari setiap anggota.
Padahal, Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 7 Tahun 2022 secara tegas menerangkan bahwa perintah dari atasan, yang dinilai melanggar hukum, wajib ditolak.